Selasa, 12 Oktober 2010

Sejarah Monumen Patung Dirgantara / Patung Pancoran


Versi A


Monumen Patung Dirgantara atau lebih dikenal dengan nama Patung Pancoran adalah salah satu monumen patung yang terdapat di Jakarta. Letak monumen ini berada di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan. Tepat di depan kompleks perkantoran Wisma Aldiron Dirgantara yang dulunya merupakan Markas Besar TNI Angkatan Udara. Posisinya yang strategis karena merupakan pintu gerbang menuju Jakarta bagi para pendatang yang baru saja mendarat di Bandar Udara Halim Perdanakusuma.

Patung ini dirancang oleh Edhi Sunarso sekitar tahun 1964 - 1965 dengan bantuan dari Keluarga Arca Yogyakarta. Sedangkan proses pengecorannya dilaksanakan oleh Pengecoran Patung Perunggu Artistik Dekoratif Yogyakarta pimpinan I Gardono. Berat patung yang terbuat dari perunggu ini mencapai 11 Ton. Sementara tinggi patung itu sendiri adalah 11 Meter, dan kaki patung mencapai 27 Meter. Proses pembangunannya dilakukan oleh PN Hutama Karya dengan IR. Sutami sebagai arsitek pelaksana.

Pengerjaannya sempat mengalami keterlambatan karena peristiwa Gerakan 30 September PKI di tahun 1965.

Rancangan patung ini berdasarkan atas permintaan Bung Karno untuk menampilkan keperkasaan bangsa Indonesia di bidang dirgantara. Penekanan dari desain patung tersebut berarti bahwa untuk mencapai keperkasaan, bangsa Indonesia mengandalkan sifat-sifat Jujur, Berani dan Bersemangat


Versi B


Patung Pancoran semula dikenal sebagai Patung Dirgantara. Dibangun oleh Presiden pertama Indonesia, Soekarno, demi kebanggaan rakyat menjadi manusia Indonesia. Gatot Kaca Mental Bentolo yang menjejak terbang dan tinggal landas—menuju Tebet. Soekarno juga yang memeragakan dirinya sebagai model, sebelum pematung asal Yogyakarta, Edhi Sunarso membuatnya. “Berulang-ulang sampai beliau suka, baru maketnya dikerjakan.” ujarnya.

Pengerjaan patung sebenarnya selesai pada 1964 di Yogyakarta, namun sempat terhenti ketika terjadi Gerakan 30 September 1965. Pemerintah baru membayar sekitar 5 juta dari total dana 12 juta yang sementara ditanggung oleh Edhi Sunarso. Inilah monumen terakhir yang tak pernah diresmikan oleh Soekarno karena beliau terlanjur sakit lalu wafat. Biayanya tak pernah dilunasi pemerintah, walau Soekarno sempat menjual mobilnya, namun hanya 1 juta, sama sekali tidak menutupi biaya.

Patung yang pernah dianggap monumen cukil mata Gerwani oleh para anti-Soekarno, kini terjepit dua jalan layang, dan untuk sementara menanti kebijakan “Pemugaran dan Relokasi Monumen Dirgantara”. Pilihan pemugaran antara lain: meninggikan pedestal hingga 10 meter, memindahkan patung ke sebelah selatan (lebih mudah mengubah situs daripada menghancurkan jalan layang), memindahkannya ke sudut bekas Markas Besar Angkatan Udara, atau dibiarkan saja (yang mungkin lebih baik, mencerminkan kesendiriannya yang lalu ditemani satu, dua jalan layang, sampai perubahan ajaib lainnya).

Apakah patung Pancoran tak cukup lepas landas mengejar gejolak kotanya? Atau perencanaan kota Jakarta yang tak pernah selaras? Cukup menghargai situs hanya dengan—seandainya—tidak menghilangkannya? Jika dulu Soekarno sampai menjual mobilnya demi menutupi biayanya, kini patung itu terjepit dua jalan layang karena orang Jakarta punya terlalu banyak mobil. Apapun yang terjadi, seperti segala yang mungkin di kota ini, semoga Gatot Kaca tetap mengarah Tebet. Setidaknya menyisakan sesuatu bagi saya, akan bagaimana seorang ayah pernah mengenang kotanya sendiri dan menanamkan ingatan itu pada saya sampai sekarang.


sumber : http://archive.kaskus.us/thread/3253397