Rakyat Merdeka Selasa, 20 September 2011 , 01:40:00 WIB
DPR Akan Panggil Menlu, Mendagri & Menkumham
Bantuan hibah bagi korban tragedi Rawagede sebesar Rp 10 miliar yang dikirimkan pemerintah Belanda ke Indonesia dua tahun lalu menjadi misteri, raib tanpa jejak. Kementerian Dalam (Kemendagri) yang disebut-sebut sebagai pihak yang menerima bantuan tersebut membantah keras. Sementara, para ahli waris korban tragedi Rawagede sampai saat ini belum bersikap atas bantuan hibah tersebut. “Tidak benar ada uang Rp 10 miliar. Sumbernya siapa dan darimana, kita juga tahunya dari media. Tapi, informasi uang itu juga akan kami cek kebenarannya,” kata Kapuspenkum Kemendagri, Reydonnyzar Moenek kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin. Kemendagri, kata dia, akan mengkaji kebenaran hasil putusan pengadilan di Den Haag, Belanda terkait kasus tersebut, dan berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, dan Kementerian Keuangan. “Kita juga belum mengetahui secara pasti, tahunya malah dari media massa. Perlu dicek ulang dan mendalam apakah benar keputusan itu. Kita juga akan mempertanyakan, apakah kasus rawagede itu gugatan goverment to goverment, private to government,atau private to private, tentunya ini perlu kajian lagi,” katanya. Terpisah Ketua Yayasan Rawagede, Sukarman membenarkan keluarga korban pembantaian Rawagede belum menerima bantuan hibah dari Belanda pada 21 Februari 2009 itu. Menurutnya, para korban tidak bisa berbuat apa-apa terhadap dana tersebut, karena itu dana hibah, bukan ganti rugi. “Sampai saat ini para ahli waris belum menerima dana tersebut, karena itu dana hibah, maka yang berwenang untuk mengurus dan membagikannya kapada masyarakat adalah Kementerian Dalam Negeri atau Pemerintah Daerah. Jadi tidak bisa menggugatnya,” katanya. Menurut Sukarman, sampai saat ini baik keluarga maupun lembaganya tidak tahu menahu mengenai keberadaan dana tersebut. “Saya tidak tahu apakah saat ini dananya ada di Kemendagri, di pemda atau dimana. Tolong Tanya kepada mereka saja,” pintanya. Dari Senayan, anggota Komisi III DPR Saan Mustopa mendesak Kementerian Hukum dan HAM selaku mitra kerja lembaganya untuk memastikan posisi putusan pengadilan kasus Rawagede. “Dari situ pemerintah bisa mengambil tindakan,” ucap politisi asal Karawang ini. Anggota Komisi I DPR Muhammad Najib mendesak pemerintah menindaklanjuti keputusan Pengadilan Sipil Den Haag, Belanda, yang memerintahkan Pemerintah Belanda membayar ganti rugi terhadap sembilan korban peristiwa Rawagede. “Ini sangat baik. Ini bagian kecil dari fakta-fakta sejarah yang kita miliki. Langkah awal yang menjadi pintu masuk ke kasus-kasus pelanggaran HAM perang lainnya,” katanya.
Untuk membuktikan perhatian legislatif terhadap penuntasan kasus Rawagede, Komisi I DPR akan memanggil Kemenlu, Kemenkum HAM, dan Kemendagri untuk meminta penjelasan terkait proses hukum dan dana ganti rugi para korban. “Secepatnya kami akan memanggil Kementerian terkait untuk menjelaskan masalah ini,” tegasnya. Pakar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan, pemerintah sebainya bersikap proaktif membantu para ahli waris korban peristiwa Rawagede untuk mendapatkan hak-haknya berdasarkan putusan pengadilan di Den Haag, Belanda pekan lalu. “Pemerintah bisa menjadi fasilitator dengan menyediakan pengacara, arsip sejarah, atau bantuan fasilitas,” katanya. Menurutnya, hal itu penting dilakukan pemerintah untuk membantu warganya sebab keputusan Pengadilan Negeri Den Haag belum bersifat hukum final, karena bisa ditempuh upaya hukum lanjutan. Untuk diketahui, peristiwa pembantaian Rawagede terjadi tahun 1947 di daerah Rawagede, Karawang, Jawa Barat. Dalam tragedi tersebut tercatat 431 laki-lakit terbunuh akibat kekejian tentara Belanda. Peristiwa ini bermula pencarian pejuang kemerdekaan bernama Lukas Kustario. Dalam pencariannya tentara Belanda memasuki Desa Rawagede dan mengeksekusi penduduk laki-laki karena menolak memberikan informasi mengenai keberadaan Kustario. PBB mengecam peristiwa itu sebagai serangan disengaja dan kejam Pemerintah Belanda meski kejadian pembantaian itu diketahui lewat film dokumenter yang ditayangkan tahun 1995. Sepuluh tahun kemudian, Menteri Luar Negeri Belanda, Ben Bot menyatakan penyesalan atas sejumlah serangan oleh pasukan Belanda di beberapa wilayah di Indonesia pada tahun 1947. Namun, Belanda memutuskan untuk tidak menyeret pelaku eksekusi massa ke pengadilan. Pada 20 Juni 2011, sembilan janda korban pembantaian di desa Rawagede, Karawang, Jawa Barat, mengajukan tuntutan ganti rugi kepada pemerintah Belanda. Para janda menuntut pengakuan dan ganti rugi atas meninggalnya tulang punggung keluarga mereka. Waktu itu, beberapa janda, dan korban selamat terakhir, Saih bin Sakam, khusus datang ke Belanda untuk proses ini.. Bagi Saih, pelaku pembunuhan massal tidak perlu lagi diseret ke pengadilan, permintaan maaf dan ganti rugi sudah cukup. Kemudian 14 September 2011 Pengadilan Den Haag menerbitkan vonis atas perkara itu yang memenangkan gugatan sembilan janda tersebut. Pengadilan memerintahkan Pemerintah Benlada membayar sejumlah ganti rugi kepada penggugat.
Mereka Melobi Karena Tidak Diperhatikan
Haris Azhar, Koordinator Kontras
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekearasan (Kontras) menilai, kemenangan gugatan korban tragedi Rawagede, pada 14 September kemarin merupakan hasil perjuangan warga, tanpa dukungan Pemerintah Indonesia. “Masyarakat, terutama keluarga korban pembantaian Rawagede, Karawang, Jawa Barat, tidak mendapatkan perhatian yang memadai. Kalaupun ada, itu hanyalah perhatian simbolik dari sejumlah individu pejabat TNI atau sipil keturunan Karawang,” kata Koordinator Kontras, Haris Azhar, dalam keterangan tertulis yang diterima Rakyat Merdeka.
Perjuangan menuntut Pemerintah Kerajaan Belanda merupakan kerja keras warga dengan sejumlah yayasan untuk mendorong kompensasi dari Pemerintah Kerajaan Belanda. Dijelaskan Haris, pada 1995 lurah setempat, dengan dukungan Pangdam Siliwangi saat itu, mendirikan Yayasan Rawagede. Yayasan ini kemudian yang dibantu Kharis Suhud (Bekas Ketua MPR/DPR) sering mencari bantuan untuk para janda dan keluarga korban. Pada 2005, lanjut Haris, ya-yasan ini kemudian bertemu dengan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) dan mendorong kompensasi dari pemerintah Belanda. Yayasan itu kemudian mulai melakukan lobi politik ke pemerintah Belanda, namun gagal. Setelah gagal, kemudian dilanjutkan dengan tindakan hukum pada 2009 melalui gugatan ke pengadilan Belanda. Sementara, yayasan lain, Sampurna Warga melakukan pemberdayaan ekonomi sosial, termasuk untuk para keluarga korban. “Mereka melakukan lobi ke Kedutaan Belanda karena kurang dapat perhatian pemerintah Indonesia. Mereka disetujui oleh pemerintah Belanda untuk dibantu dan uang diserahkan ke Kemendagri pada Desemeber 2010. Namun hingga kini bantuan tersebut tidak pernah diterima yayasan tersebut,” paparnya. Keluarga korban pembantaian Rawagede mengaku Pemerintah Belanda pernah memberikan bantuan hibah pada 2009 lalu sebesar Rp 10 miliar. Uang itu disalurkan melalui Kemendagri. Ironisnya hingga kini keluarga korban belum pernah menerima haknya. Para ahli waris korban hanya berharap dana konpensasi ini bisa sampai ke tangannya dan bisa dinikmati keluarganya