Kamis, 08 September 2011

Sejarah Masa Orientasi Siswa (MOS)


Masa Orientasi Siswa atau disingkat MOS atau sering disebut juga Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (disingkat MPLS) merupakan sebuah kegiatan yang umum dilaksanakan di sekolah guna menyambut kedatangan siswa baru.

Masa orientasi lazim kita jumpai hampir di tiap sekolah, mulai dari tingkat SMP, SMA hingga perguruan tinggi. Tak pandang itu sekolah negeri maupun swasta, semua menggunakan cara itu untuk mengenalkan almamater pada siswa barunya.

MOS dijadikan sebagai ajang untuk melatih ketahanan mental, disiplin dan mempererat tali persaudaraan. MOS juga sering dipakai sebagai sarana perkenalan siswa terhadap lingkungan baru di sekolah tersebut. Baik itu perkenalan dengan sesama siswa baru, kakak kelas, guru hingga karyawan lainnya di sekolah itu. Tak terkecuali pengenalan berbagai macam kegiatan yang ada dan rutin dilaksanakan di lingkungan sekolah.



Sejarah

Pada permulaan masuk sekolah/kuliah, biasanya para murid atau mahasiswa baru di sekolah menengah atau universitas akan mengalami masa-masa ini. Masa-masa seperti ini juga seringkali menjadi “mimpi buruk” si murid baru itu sendiri, karena terkadang dimanfaatkan oleh kakak kelas untuk memelonco si adik kelasnya itu. Tergantung juga sih…


Sebenarnya, jika ditelusuri. Sejarah MOS, Ospek ini jika ditelusuri sebenarnya sudah sejak Jaman Kolonial, tepatnya di STOVIA atau Sekolah Pendidikan Dokter Hindia (1898-1927). Pada masa itu, mereka yang baru masuk harus menjadi “anak buah” si kakak kelas itu seperti membersihkan ruangan senior. Dan hal itu berlanjut pada masa Geneeskundinge Hooge School (GHS) atau Sekolah Tinggi Kedokteran (1927-1942) (STOVIA dan GHS sekarang menjadi FKUI Salemba), pada masa GHS ini kegiatan itu menjadi lebih formal meskipun masih bersifat sukarela. Istilah yang digunakan pada saat itu adalah ontgroening atau “membuat tidak hijau lagi”, jadi proses ini dimaksudkan untuk mendewasakan si anak baru itu.

Ketika sudah merdeka pun, proses ini masih dilanjutkan bahkan sampai sekarang. Setelah era 50-an, kegiatan ini dibuat lebih “wajib”. Bahkan malah terkesan semakin tidak mendidik dan hanya menjadi ajang kepuasan si kakak kelas. Yang biasanya menjadi bagian “pemlonco” seringkali orang-orang yang kurang kerjaan, jadi semakin membuat kesan tidak mendidik. Bentuk “perkenalannya” pun lebih ke bentuk yang kurang mendidik dan hanya untuk lucu-lucuan seperti si anak baru harus menggunakan aksesoris yang terlihat “lucu”, menggunduli rambut, memakai dandanan yang aneh-aneh, dsb. Dan kegiatannya pun biasanya seenak jidat si senior, seperti membawa barang-barang aneh, dll. Dan penuh kegiatan fisik pastinya.


Dan anehnya, walaupun banyak ditentang semenjak era 60-an. Kegiatan seperti ini seakan tidak ada matinya, malah dalam perkembangannya kegiatan seperti ini malah ditiru oleh SMP dan SMA. Dengan dalih “adaptasi dan peralihan masa”, kegiatan inipun dicontoh oleh satuan pendidikan dibawahnya. Walau tidak sesadis di Universitas, tetap saja terkesan tidak mendidik dan kurang bermanfaat, khususnya pada MOS di sekolah negeri.

Tetapi, seiring dengan perkembangan zaman dan tuntutan dari masyarakat kebanyakan. Kegiatan inipun semakin lama semakin “ringan” dan “mendidik”. Ditambah dengan semakin terlibatnya pihak sekolah/kampus yang menyebabkan semakin “terdidik” juga pelaksananya juga. Sewaktu saya melaksanakan MOS pun, isinya sudah lebih banyak pendidikannya dan semakin kecil unsur ploncoannya (Tapi saya Swasta sih), Dibandingkan dengan cerita saudara-saudara saya yang mengalami MOS di 90an awal, 90an akhir, dan 2000an awal. Dan bahkan di beberapa Universitas, kegiatan seperti itu sudah dihapuskan seperti di kampus .


sumber : http://www.kaskus.us/showthread.php?t=9599255