Jumat, 06 Mei 2011

Pertanian dan Kemiskinan di Jawa

Pertanian dan kemiskinan di Jawa berhubungan erat dengan tingkat upah dan gaji. Selama petani memperkerjakan buruh upahan, maka mereka harus bersaing dengan industri dan pemerintah dalam kedudukannya sebagai majikan. Dibalik itu terdapat kenyataan bahwa penduduk industri dengan daya beli yang kuat merupakan konsumen yang baik bagi hasil-hasil lading dan pengolahan hasil-hasil ternak, dan memungkinkan adanya intensifikasi yang besar. Dan pada akhirnya tingkat gaji berpengaruh besar terhadap pengeluaran pemerintah dan beban pajak yang berhubungan erat dengan pendapatan dari pertanian yang tidak boleh memungut lebih dari jumlah tertentu.

Produktivitas petani di Jawa, dibandingkan dengan petani di Eropa dan Amerika sebenarnya pendapatan petani per hektar tidak kalah tinggi akan tetapi tanah usaha tani di Jawa sangat sempit dan terbatas sehingga pendapatan petani Jawa menjadi kecil dalam lingkungan penduduk yang sangat padat. Dalam masyarakat petani Jawa hanya terdapat diferensiasi social yang kecil untuk upah buruh tani di dalam lingkungan solidaritas desa. Selain itu tingkat hidup masyarakat Jawa dianggap lebih rendah, kemudian beban pajak yang diterapkan justru ditaksirkan lebih berat.

Pengaruh resesi ekonomi di Jawa digambarkan dalam hal produksi dan distribusi pangan, stabilisasi harga pangan dan gejala kurang pangan pada sebagian penduduk. Begitu pula diuraikan penghasilan uang dari pertanian, soal pajak tanah, kredit dari Bank pemerintah maupun dari dinas pegadaian dan penghasilan sampingan.


A. PERTANIAN PENDUDUK ASLI DAN TINGKAT UPAH DI JAWA DAN MADURA
Faktor alam dapat mempengaruhi hasil pendapatan meliputi hasil pendapatan meliputi hasil panen, karena dengan iklim dan keadaan tanah yang sesuai membuat panen dapat dilakukan dua kali. Pendapatan sektor pertanian dapat ditempuh melalui dua jalan yang kedua-duanya memberikan kesimpulan-kesimpulan berharga tergantung pada tujuan penelitian. Luas perusahaan di Jawa rata-rata kecil, oleh karena itu menjadi sebab tingginya pendapatan dari tanah. Hal tersebut tentu saja berpengaruh besar terhadap pendapatan petani, sedangkan jumlah wajib pajak di Jawa tidak boleh dipakai untuk menghitung besarnya rata-rata perusahaan.

pertanian
Gambar : Pertanian


Disini dapat dibuat perhitungan-perhitungan dengan angka per hektar atau perusahaan. Pendapatan masyarakat dapat dibagi atas:

a. Upah-upah kerja
b. Hak upah petani dan keluarganya
c. Pajak-pajak
d. Hasil bersih, terdiri atas bunga modal dan keuntungan pengusaha.

Penyebab pendapatan petani di Jawa dan Madura menjadi rendah adalah bukan karena produktivitasnya yang kurang, namun merupakan akibat dari padatnya penduduk. Sedangkan mengenai tingkat upah di Jawa dan Madura, lebih bersifat diferensiasi geografis yang berarti patokan gaji setempat. Hal tersebut menyebabkan timbulnya perbedaan yang besar antara tingkat pendapatan di kota dengan kawasan pedesaan. Sehingga timbul dorongan yang berlebihan terhadap profesi pegawai negeri.


B. PENDAPATAN RAKYAT DAN BEBAN PAJAK DI JAWA DAN DAERAH SEBERANG
Dengan berlandaskan tafsiran dan perkiraan, Gotzen menyimpulkan bahwa pendapatan rata-rata per kepala penduduk daerah Seberang dan Jawa/Madura tidak berbeda satu sama lain, dan bahwa beban pajak kalau dihitung dalam presentasi dari pendapatan itu di Daerah Seberang jauh lebih tinggi dari tariff Jawa, dapat dikatakan mengherankan.

Dari data statistik menegenai masalah impor, dapat diketahui bahwa kegiatan konsumsi di Daerah Seberang memiliki komoditi yang lebih besar, lebih beraneka ragam, dan lebih bermutu daripada di Jawa dan Madura. Pendapatan perkapita yang tinggi dari penduduk Daerah Seberang berasal dari penduduk asli, meskipun pada dasarnya pendapatan yang diperoleh meliputi sektor-sektor di luar perkebunan dan pertanian. Dari tafsiran nominal, jumlah pendapatan penduduk kira-kira 350 juta lebih tinggi dari komplikasi data yang dikumpulkan per daerah. Hal tersebut tentu saja berbanding terbalik dengan hasil pertanian yang menggunakan tolak ukur harga pasar. Hal lain yang dapat diperhitungkan adalah masalah cukai bensin, hal tersebut karena bensin merupakan salah satu factor penting dalam transportasi untuk kegiatan produksi, konsumsi dan distribusi.

Perbedaan tersebut dapat dilihat bahwa di Jawa tidak menggunakan atau mengenakan cukai bensin namun berbeda pada Daerah Seberang, di Daerah Seberang cukai bensin dikenakan sangat tinggi bagi penduduk asli. Alasan pemberian cukai yang tinggi tersebut dikarenakan di Daerah Seberang, pada proses pembelian, pengangkutan dan perdagangan tanaman ekspor rakyat lebih besar berada ditangan penduduk asli, sedangkan di Jawa sebagian besar tidak ditangani oleh penduduk asli.

Dari pendapat tersebut tentu saja menaruh beban tertentu terhadap penduduk, ada tiga bentuk beban desa yang penting, antara lain:

1. Penyerahan hak tanah sebesar 10% dari seluruh persawahan di daerah.
2. Dalam bentuk nominal beban uang berjumlah 8,5 gulden.
3. Kalau beban-beban dalam bentuk kegiatan, diadakan ketentuan wajib bekerja.

Dari data survei pada tahun 1930, pendapatan perkapita Daerah Seberang lebih tinggi daripada di Jawa dan beban pajak yang dikenakan relatif lebih rendah. Penyebab pendapatan yang diperoleh berbeda adalah antara tahun 1903 dan 1936 pendapatan di Jawa menurun lebih kuat daripada Seberang.


C. CATATAN MENGENAI KEADAAN PANGAN, PENDAPATAN KEUANGAN DAN KEADAAN EKONOMI RAKYAT, TERUTAMA DI JAWA DAN MADURA

a. Produksi Pangan
Pada tahun 1931 dimulai penyusutan areal tanaman tebu. Hal itu tidak saja tampak pada luas areal sawah yang dipanen, akan tetapi juga pada kenaikan luas tanaman jagung dan kedelai. Persediaan jumlah pangan untuk tahun 1935, kalau penambahan penduduk antara tahun 1927 dan 1935 diperkirakan 10%, dan secara relative terdapat kenaikan pada umbi-umbian. Peningkatan yang besar dari penanaman umbi-umbian sebagian merupakan reaksi normal terhadap tahun panen yang buruk (1943). Hal yang penting lagi ialah perkembangan jumlah pangan yang tersedia selama musim kurang pangan, yaitu apa yang disebut paceklik. Lama masa paceklik ditetapkan, sedapat mungkin sesuai dengan keadaan sesungguhnya. Data mengenai kemungkinan beras terdapat dalam setiap masa paceklik 1932/1933 dan 1935/1936 .

Saldo ekspor kelapa dan hasil-hasil kelapa untuk Jawa dan Madura sejak dulu telah berubah menjadi saldo impor. Tambahan pangan yang berasal dari impor atau karena pembatalan ekspor mempengaruhi persediaan pangan lainnya, seperti kebutuhan-kebutuhan yang nharus dibayar dari pemasukkan sendiri. Jumlah relatif yang sama disbanding dengan produksi seluruhnya dapat menjurus kea rah kekurangan pangan untuk banyak orang. Kalau musim paceklik panjangnya lebih dari biasa, berarti kebutuhan pangan lebih ekstra dari jumlah tahunan.

b. Distribusi Pangan
• Politik dalam distribusi umum
Jumlah pangan yang tersedia di Jawa dan Madura tahun 1935, kira-kira dapat menutup kebutuhan tahunan kalau itu masih dapat ditambah dengan beberapa impor. Walaupun Jawa dan Madura lebih berswasembada pangan, masalah distribusi untuk persediaan tersebut tidak kurang pentingnya, kendatipun bantuan impor yang diperlukan sangat berkurang. Penambahan kekurangan setempat dan perdaerah produksi tertentu di Jawa sendiri, yaitu didaerah yang mengalami surplus, terutama karena dihapusnya sebagian besar industri tebu. Dengan demikian, distribuski pangan sebagian diatur melalui saluran-saluran lain, sedangkan pembelian dan pengelolaan kelebihan produksi padi, jagung dan kedelai mendapat arti yang besar dalam ekonomi pertanian daerah-daerah tertentu.

• Stabilisasi harga
Untuk Jawa pemerintah memandang perlu mengadakan pembelian dan impor beras agar dapat menjamin perkembangan harga yang sedapatnya merata. Jumlah yang dibeli. Berjumlah 114.525 ton tahun 1943/1935 dan 5.000 ton pada tahun 1935/1936. Dalam beberapa kasus, pemerintah bertindak langsung membiayai sebagian pembelian atau mengambil alih padi yang disediakan untuk pembayaran pajak tanam dengan harga pantas. Dengan peraturan impor beras telah diperoleh stabilisasi tingkat harga padi. Suatu batas yang layak bagi pabrik penggilingan padi dan pedagang beras serta untuk penyebaran yang baik dan mobilitas persediaan beras.

• Kekurangan pangan dan penanggulangannya
Sebagian rakyat yang sedikit banyak tergantung kepada penghasilan uang, telah semakin miskin, sehingga pada bulan-bulan tertentu atau terkadang malah sepanjang tahun, tidak mampu membeli bahan pangan yang lebih baik. Daerah yang mengalami kesulitan seperti terdapat di kabupaten Bogor, Indramayu, Cirebon, Tegal, Banyumas, Cilacap, Bojonegoro, Jombang, Madiun utara serta Kediri Selatan dan Madura mengalami kekurangan besar. Untuk memberantas keadaan seperti itu, pengusaha setempat dan pemerintah pusat selalu menyediakan uang dan kesempatan kerja serta memberi bantuan yang lebih langsung dengan menyediakan pangan murah.

• Keadaan pangan dan kesehatan
Angka kematian seluruh jawa tahun 1934 rata-rata naik 2% dan ini dapat disebut meresahkan karena angka kematian sejak 1930 tiap tahun menurun. Hal ini ditunjuk sebagai akibat keadaan ekonomi yang tidak begitu baik dan telah menyebabkan daya tahan penduduk terhadap penyakit menjadi berkurang.

Beberapa unsur dan gejala keadaan ekonomi:
1. Peredaran uang
2. Perubahan pendapatan uang rakyat pada 1935 dibanding dengan 1939
3. Pajak tanah, bank rakyat, rumah gadai di Jawa dan Madura
4. Impor
5. Kesempatan kerja
6. Upah dan pendapatan sampingan
7. Aneka persoalan


D. MENGUSAHAKAN WARUNG DESA DI JAWA DAN MADURA
Usaha warung diantara penduduk asli di Jawa dan Madura sebagai suatu kenyataan ekonomi, merupakan hal yang penting. Perdagangan kecil ini menguasai seluruh struktur kehidupan social pedesaan dan selayaknya dilihat dalam hubungan dengan gejala-gejala yang khas dari kehidupan tersebut. Pada bulan maret 1658 pemerintah mendekritkan berlakunya pajak pasar dan pajak rumah. Tujuannya yaitu menghapuskan kegiatan “Kelompok Wanita” dan sebagai pengganti dari usaha secara benar sehingga dapat membiayai hidup secara layak.

a.Nilai Tukar di Desa
Peredaran uang yang berlaku hanya disebagian kecil negeri ini, merupakan peristiwa terpenting dalam kehidupan pedesaan. Bagian terbesar dari peredaran uang tersebut, bertalian dengan kebutuhan hidup sehari-hari. Petani menganggap umumnya menjual sebagian hasil mereka kepada tetangga atau di pasar kepada tetangga atau dipasar kepada pedagang kiosdan pedagang perantara. Transaksi demikian biasanya dilakukan sekaligus dalam jumlah yang relatif besar. Dalam hal ini uang receh menjadi penting dalam penjualan hasil kebun. Biasanya dilakukan pada tiap hari pasar yang berupa transaksi kecil-kecilan.

b. Pendapatan Tunai
Penerimaan tunai dari masing-masing keluarga disetiap daerah berbeda-beda kebanyakan diperusahaan-perusahaan besar dan kota-kota besar atau pusat industri pada umumnya memperoleh uang lebih banyak daripada di desa.

c. Mengusahakan Warung Sebagai Usaha Dagang
Sensus pendapatan tahun 1930 menunjukkan bahwa di Jawa dan Madura satu juta penduduk mencari nafkah dengan berdagang bahan makanan atau mempersiapkan makanan. Suatu pemeriksaan atas angka sensus pertama-tama menunjukkan betapa pentingnya perdagangan eceran untuk Jawa dan Madura. Sensus tahun 1905 sudah menyatakan besarnya jumlah pedagang kecil yang sebagian besar terdiri atas wanita. Di Jawa dan Madura jumlah mereka dua kali lipat dari pria. Jalur utama perdagangan eceran yang mencapai konsumen perorangan memusatkan perhatian pada transaksi yang telah terjadi sehari-hari. Pada hari pasar, pedagang keliling menyewa kios dipasar karena dari tempat ini mereka mencapai kelompok-kelompok langganan yang lebih besar. Modal kerja sering diperoleh melalui pinjaman. Dalam hal ini sering terjadi sistem “Ijon” yang berarti bahwa modal yang diperlukan dipinjamkan dengan jumlah jaminan tanaman yang masih dalam masa pertumbuhan. Sebagaimana pentingnya perdagangan sebagai penyalur bagi produksi yang beraneka ragam. Kebutuhan akan adanya perdagangan kecil bertambah besar dengan meningkatkannnya gurem atau kerajinan kecil.


E. SURFEI ARGO EKONOMI DI INDONESIA
Pada tahun 1965, survei argo ekonomi didirikan oleh pemerintah Indonesia untuk menghimpun data, menentukan sumber daya pertanian dan kondisi masyarakat pedesaan, untuk menilai program-program yang sudah ada dalam pelaksanaan dan akibat-akibatnya bagi produksi pertanian dan masyarakat pedesaan. Organisasi dan prosedur survei argo ekonomi, yang mengkoordinasikan pekerjaan sebagian besar akademikus, administrator dan pekerja lapangan Indonesia sangat menarik dan dapat berguna sebagai bentuk dasar untuk program-program lainnya di dalam atau luar Indonesia.sebagian peran serta yang luas ini merupakan soal kebutuhan orang-orang terampil yang dibutuhkan untuk survei, tidak dapat bekerja penuh dan tidak ada dana untuk membayar mereka.

Professor Kampto Utomo telah mengemukakan tiga hipotesa sebagai pendekatan hipotesa untuk riset’ yaitu:

1) Bahwa petani Indonesia bertindak secara rasional dalam arti ekonomi, sekalipun dalam batas-batas sosiolog, ekonomi dan administratif yang sempit serta pengetahuan yang terinci tentang “ Iklim operasional” dari petani dewasa ini tidak dapat diperoleh.

2) Meskipun telah dilakukan pengamatan dan pengkajian yang berharga menjelang perang dunia II, data-data baru sangat diperlukan.

3) Bahwa para mahasiswa dan anggota staf lembaga-lembaga pertanian yang mempunyai minat sungguh-sungguh dalam kesejahteraan desa dapat memperoleh kepercayaan penduduk dan memperoleh jawaban-jawaban yang jujur dan nyata.

Hubungan antara pabrik gula dan kaum tani yang tidak memuaskan dewasa ini menghasilkan usaha-usaha mencari bentuk-bentuk hubungan baru dan pertimbangan kembali peranan industri gula dalam ekonomi kebebasan membeli dan mengolah padi telah diberikan kepada pabrik penggilingan beras dan dianjurkan ada peningkatan kapasitas pabrik padi pengupasan sekam.

Survei argo-ekonomi harus diteruskan sedikitnya sampai tahun 1969, dengan memperluas
beberapa proyek lama dan memulai beberapa yang baru, pada tahun 1968 di Bogor akan didirikan lembaga riset ilmiah agro sosial baik rutin maupun khusus.


F. STRATEGI PEMBANGUNAN PEDESAAN DI ASIA
Mulai dari laut tengah di barat hingga pasifik ditimur, pertanian memiliki peran dasar persamaan, tersusun dalam kesatuan-kesatuan teritorial (desa merupakan yang paling penting). Daerah tersebut sangat diperlukan oleh dua kekuatan (kedua-duanya bersifat politik) feodalisme dan bersifat penjajahan. akan tetapi dilapisan bawah terdapat petani didesa (kadang-kadang menjadi kelompok keluarga) dan setelah merdeka atau dalam usaha-usaha memodernisasikan (Jepang dan RRC), pemerintah-pemerintah lebih memusatkan hubungan-hubungan langsung daripada tidak langsung antara petani dan pemerintah.

Pada abad-abad yang lalu masyarakat-masyarakat Asia telah membangun pertanian yang tetap, lebih dini daripada dunia lainnya, dengan membuat teras dan irigasi. Di Asia termasuk juga di anak benua India penipisan tanah terjadi dengan dua cara. Pertama-tama teradapat penggundulan lereng-lereng gunung dan bukit. Di tempat-tempat yang hutannnya ditebang, untuk memperoleh tanah garapan atau bahan baker. Terik matahari dan hantaman hujan merusak lapisan atas tanah, pengaruhnya meluas keseluruh lembah sungai. Terutama penahanan air berkurang dan lebih banyak air hujan yang terbuang pada musim hujan. Banjir dan kekeringan yang berganti hanya sebagian dapat dicegah dengan bendungan-bemdungan yang besar dan mahal. Yang kedua adalah kampak dan api ditangan petani. Di tempat-tempat yang padat penduduk dan daerah pemasaran menyebabkan penyingkatan daur dalam perladangan hutan akan tumbuh rumput-rumput yang berbahaya seperti rumput kanus di India dan gelagah di Sumatera.

Semua bahaya lingkungan ini membawa penderitaan, kemiskinan, kelaparan, dan pengusiran jutaan rakyat pedesaan di Asia dari tanah mereka konsekuensi sosial dari resiko ini memang hebat secara sederhana petani kecil kehilangan milik dan tanahnya. (melalui hutang dengan bunga tinggi dan pinjaman darurat) yang menguntungkan petani besar dan lebih kaya.