Presiden pertama Republik ini ternyata seorang Muhammadiyah tulen. Hal itu tersirat dari dua suratnya yang kini masih tersimpan di rumah bekas pengasingannya di Bengkulu. Surat berkah yang amat berharga itu masih tersimpan dengan baik dan dijaga oleh Darwis Andrian, penjaga rumah bekas pengasingannya itu di Bengkulu.Dua pucuk surat asli Soekarno itu pemberian R Soediana, sahabat Bung Karno di Bumi Raflesia. Surat itu masing-masing surat dinas asli dan satunya lagi surat pribadi tulisan tangan.
Surat ini ditandatangani Soekarno, yang waktu itu menjabat voorzitter Consul Hoofdbestuur Moehammadijah Daerah Benkoelen.
Surat pertama 26 Desember 1939, isinya minta R Soediana, guru di Palak Siring, pindah mengajar ke Madrasah Ibtidaijah di Kebun Roos, Benkoelen. Sedang surat kedua 29 Oktober 1941, pemindahan Soediana ke Talang Leak, Moeara Aman (Sumsel) bergaji Rp 20.
Dari isi kedua surat ini membuktikan bahwa Bung Karno ternyata seorang Muhammadiyah. Bahkan saat itu Putra Sang Fajar tidak saja aktif membina organisasi keagamaan itu, ketika di Bengkulu Soekarno pun sempat menyunting putri warga Muhammadiyah yakni Fatmawati.
Belakangan ini beragam cerita dan kisah Proklamator Ir Soekarno banyak digali orang. Namun, bagaimana persis kisah Presiden Pertama RI itu ketika diasingkan di Bengkulu antara tahun 1938-1942, mungkin belum banyak yang tahu. Dalam beberapa buku sejarah yang hanya hitungan jari, tampak sebagian kecil saja disinggung tentang keberadaan Soekarno lebih empat tahun di daerah yang berjuluk "Bumi Raflesia" ini. Karenanya kalau ingin tahu lebih banyak tentang itu, tak ada salahnya Anda berkunjung ke bekas rumah pengasingan Soekarno di kawasan Anggut Atas, Jalan Soekarno-Hatta, persis di tengah Kota Bengkulu. Di situ, Darwis Andrian (50) mampu bercerita banyak berbagai hal menyangkut itu.
Kendati bukan sejarawan, Darwis mampu berkisah nyaris detail tentang hari-hari Bung Karno di Bengkulu. Mulai anjing kesayangan Soekarno, kebiasaan jalan kaki ke luar masuk kampung, mengajar drama sampai kisah cinta romantis dengan "kembang desa" bernama Fatmawati.
Lalu kenapa harus Darwis Andrian? Ini bukan karena ia seorang juru kunci di rumah pengasingan Soekarno belasan tahun, melainkan boleh dikata dialah di Bengkulu yang sampai sekarang tanpa kenal lelah "menyusuri jejak" Presiden pertama ini. Tidak sebatas itu, Darwis bahkan terus memburu barang-barang warisan Soekarno, untuk kepentingan sejarah dan kebanggaan Bengkulu.
"Saya lakukan ini demi pengabdian. Meski banyak orang atau lembaga tak peduli, kecuali saat kedatangan tamu penting ke Bengkulu. Dengan cara dan kemampuan sendiri, saya coba berbuat sesuatu untuk kepentingan lebih besar. Walaupun sebelum reformasi, hal-hal yang berbau Soekarno "sengaja" diabaikan," katanya.
KOMITMENNYA kuat terhadap upaya pencarian dan pelestarian jejak Soekarno di Bengkulu. Dia pun nyaris tanpa pamrih dan tidak mengharap penghargaan, berburu dan berjuang ke mana-mana. Walaupun usaha ini kerap kali tanpa hasil dan dianggap angin lalu saja.
Guna menyelamatkan sedikitnya 400 judul buku koleksi Soekarno misalnya, Darwis sudah berkali-kali mencari kurator dan mengajukan upaya penyelamatan ke berbagai pihak yang dinilai kompeten. Tidak terkecuali, ia hampir dengan nada mengemis menawarkan itu ke lembaga Arsip Nasional. Penyelamatan buku-buku sejarah yang teramat bernilai ini baik dalam bentuk duplikasi (fotokopi), terjemahan, mikro-film atau bentuk lain bagi Darwis mutlak dilakukan. Sebab, semua buku Soekarno itu kini kondisinya sudah melapuk, nyaris hancur dimakan rayap.
Meski sudah dilakukan bertahun-tahun, sampai sekarang ternyata tidak ada satu pun respons. Padahal, rata-rata pengunjung yang datang ke rumah kediaman Soekarno ini menyatakan keinginannya untuk bisa membaca dan membolak-balik koleksi Bung Karno tersebut. Bahkan, sejumlah ilmuwan dan turis asal Belanda dari dulu secara gigih mengincar buku-buku itu.
"Besarnya rasa keingintahuan orang terhadap buku-buku ini, tidak bisa dilepaskan dari nama besar dan sosok seorang Bung Karno. Apalagi buku koleksi mantan Presiden RI itu sangat beragam, meliputi bidang kesenian, politik, agama, sastra, dan kesehatan. Sebagian besar buku-buku ini berbahasa Belanda dan sangat langka," ujarnya.
Rasa sedih dan keprihatinan, sampai kini tetap menyelimuti diri seorang Darwis. Sebab jangankan biaya untuk membuat duplikasi buku, biaya perawatan saja tak seperser pun dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Bengkulu sejak 15 tahun terakhir. Selama ini yang diandalkan cuma sumbangan pengunjung yang besarnya rata-rata Rp 500 - Rp 1.000, tergantung maunya mereka.
Dalam kondisi seperti itu, tidak perlu heran kalau sekarang kita menyaksikan buku-buku yang sudah rusak dan melapuk. Kondisi bangunan rumah kediaman Bung Karno di Bengkulu ini pun tak kalah "serem", merana tanpa pemeliharaan serius. Beberapa bagian tampak keropos, dinding bangunan berlumut dan genteng bocor. Lebih menyedihkan lagi, sebagai sebuah "rumah sejarah" yang pernah dihuni bertahun-tahun oleh salah satu pendiri negara RI itu justru sama sekali tidak pernah dilengkapi saluran telepon.Satu peristiwa teramat memprihatinkan pernah terjadi ketika aliran listrik ke rumah Bung Karno sempat diputus lama PLN. Hampir bertahun-tahun, rumah yang menjadi salah satu bukti sejarah itu gelap gulita tanpa penerangan selain lampu teplok.
"Beruntung tahun lalu Wapres Megawati Soekarnoputri berkunjung ke Bengkulu. Hanya sehari menjelang kedatangan putri Bung Karno itu, buru-buru pemerintah dan PLN setempat sibuk memasang sambungan listrik kembali. Jika tidak, bisa dipastikan rumah ini pasti masih gelap dan ditelantarkan begitu saja. Sebagai PNS rendahan, saya hanya bisa pasrah sewaktu listrik dicabut dulunya," tukasnya.
Darwis melukiskan, untuk membersihkan lingkungan bekas rumah pengasingan Soekarno seluas kurang lebih satu hektar, ia lakukan tiga kali dalam sebulan. Untuk kebutuhan operasional mesin pemotong rumput menghabiskan minyak campur 60 liter per dua bulan.
Selain itu, guna mengganti pisau pemotong rumput, dua bulan sekali, ia terpaksa merogoh kocek Rp 57.500. Sekiranya lir-nya putus, untuk penggantian harus dikeluarkan lagi biaya ekstra sekitar Rp 225.000. "Beruntung bisa menyisihkan sedikit demi sedikit uang gaji saya sebagai PNS di bidang Sejarah dan Kepurbakalaan Departemen Pendidikan Nasional Bengkulu," paparnya.
Pengabdian Darwis tampaknya memang tak kenal lelah. Begitu pulang dari tugas pokoknya di Kantor Dinas Diknas Bengkulu sekitar pukul 14.00, ia harus berbenah, menyiapkan diri melayani para pengunjung bekas rumah kediaman Soekarno. Sebab, para tamu tidak semata hari libur karena pada hari biasa pun banyak yang mampir ke situ. Beruntung ia diberi izin menempati rumah petak di bagian belakang rumah induk. Sehingga tak merepotkan tugas gandanya sepanjang hari, sejak 15 tahun lalu sampai sekarang.
BUKU koleksi Soekarno, menurut Abdul Manaf (meninggal usia 86 tahun 1997), cerita Darwis, jumlahnya sekitar 12 peti. Manaf tahu itu, karena dia yang memasok buku-buku tersebut diam-diam.
Waktu itu, Abdul Manaf agen Panji Islam di Bengkulu. Manaf tahu persis kesukaan Bung Karno yang doyan baca, sekaligus untuk mengisi keseharian di pengasingan. Khusus buku yang masih tersimpan di bekas rumah pengasingan sekitar 400 judul. Ini adalah buku koleksi Bung Karno yang berhasil diselamatkan bertahun-tahun.
"Dari tiga teman dekat Bung Karno, yakni Abdul Manaf, Bachtiar Karim dan Abdullah, saya mendapatkan banyak cerita tentang Soekarno. Mereka semua kini sudah tiada," jelas Darwis, yang saat senggang rutin menuliskan catatannya. Catatan itu sudah ada diterbitkan berbentuk buku, yaitu Rumah Kediaman Bung Karno pada Waktu Pengasingan di Bengkulu (1938-1942) dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris. Buku sederhana 16 halaman itu diterbitkan pertama Mei 1997. Harga buku ini memang sekadar pengganti ongkos cetak, cuma Rp 3.000. Buku itu praktis, sehingga laris. Malah sudah dua kali cetak ulang. Darwis pun pasrah, namanya tidak dicantumkan sebagai penulis, tapi atas nama orang lain.
"Jangankan berbicara royalti, ucapan terima kasih pun tidak pernah saya terima. Baik dari yang mengklaim sebagai penulis maupun penerbit. Beruntung saya masih simpan naskah aslinya dengan isi lebih lengkap dari buku yang sudah dicetak ulang itu," katanya, sembari melihatkan naskah asli itu.
Bung Karno di Bengkulu, katanya, juga diketahui pernah membuat dua lukisan. Salah satunya lukisan wanita cantik. "Sampai sekarang lukisan itu tidak ditemukan. Saya sudah cari ke mana-mana, bahkan sampai ke Muko-Muko (Bengkulu Utara) di perbatasan Sumatera Barat. Akan tetapi, hasilnya tetap nihil," ujar Darwis. (nal/zul)
Surat ini ditandatangani Soekarno, yang waktu itu menjabat voorzitter Consul Hoofdbestuur Moehammadijah Daerah Benkoelen.
Surat pertama 26 Desember 1939, isinya minta R Soediana, guru di Palak Siring, pindah mengajar ke Madrasah Ibtidaijah di Kebun Roos, Benkoelen. Sedang surat kedua 29 Oktober 1941, pemindahan Soediana ke Talang Leak, Moeara Aman (Sumsel) bergaji Rp 20.
Dari isi kedua surat ini membuktikan bahwa Bung Karno ternyata seorang Muhammadiyah. Bahkan saat itu Putra Sang Fajar tidak saja aktif membina organisasi keagamaan itu, ketika di Bengkulu Soekarno pun sempat menyunting putri warga Muhammadiyah yakni Fatmawati.
Belakangan ini beragam cerita dan kisah Proklamator Ir Soekarno banyak digali orang. Namun, bagaimana persis kisah Presiden Pertama RI itu ketika diasingkan di Bengkulu antara tahun 1938-1942, mungkin belum banyak yang tahu. Dalam beberapa buku sejarah yang hanya hitungan jari, tampak sebagian kecil saja disinggung tentang keberadaan Soekarno lebih empat tahun di daerah yang berjuluk "Bumi Raflesia" ini. Karenanya kalau ingin tahu lebih banyak tentang itu, tak ada salahnya Anda berkunjung ke bekas rumah pengasingan Soekarno di kawasan Anggut Atas, Jalan Soekarno-Hatta, persis di tengah Kota Bengkulu. Di situ, Darwis Andrian (50) mampu bercerita banyak berbagai hal menyangkut itu.
Kendati bukan sejarawan, Darwis mampu berkisah nyaris detail tentang hari-hari Bung Karno di Bengkulu. Mulai anjing kesayangan Soekarno, kebiasaan jalan kaki ke luar masuk kampung, mengajar drama sampai kisah cinta romantis dengan "kembang desa" bernama Fatmawati.
Lalu kenapa harus Darwis Andrian? Ini bukan karena ia seorang juru kunci di rumah pengasingan Soekarno belasan tahun, melainkan boleh dikata dialah di Bengkulu yang sampai sekarang tanpa kenal lelah "menyusuri jejak" Presiden pertama ini. Tidak sebatas itu, Darwis bahkan terus memburu barang-barang warisan Soekarno, untuk kepentingan sejarah dan kebanggaan Bengkulu.
"Saya lakukan ini demi pengabdian. Meski banyak orang atau lembaga tak peduli, kecuali saat kedatangan tamu penting ke Bengkulu. Dengan cara dan kemampuan sendiri, saya coba berbuat sesuatu untuk kepentingan lebih besar. Walaupun sebelum reformasi, hal-hal yang berbau Soekarno "sengaja" diabaikan," katanya.
KOMITMENNYA kuat terhadap upaya pencarian dan pelestarian jejak Soekarno di Bengkulu. Dia pun nyaris tanpa pamrih dan tidak mengharap penghargaan, berburu dan berjuang ke mana-mana. Walaupun usaha ini kerap kali tanpa hasil dan dianggap angin lalu saja.
Guna menyelamatkan sedikitnya 400 judul buku koleksi Soekarno misalnya, Darwis sudah berkali-kali mencari kurator dan mengajukan upaya penyelamatan ke berbagai pihak yang dinilai kompeten. Tidak terkecuali, ia hampir dengan nada mengemis menawarkan itu ke lembaga Arsip Nasional. Penyelamatan buku-buku sejarah yang teramat bernilai ini baik dalam bentuk duplikasi (fotokopi), terjemahan, mikro-film atau bentuk lain bagi Darwis mutlak dilakukan. Sebab, semua buku Soekarno itu kini kondisinya sudah melapuk, nyaris hancur dimakan rayap.
Meski sudah dilakukan bertahun-tahun, sampai sekarang ternyata tidak ada satu pun respons. Padahal, rata-rata pengunjung yang datang ke rumah kediaman Soekarno ini menyatakan keinginannya untuk bisa membaca dan membolak-balik koleksi Bung Karno tersebut. Bahkan, sejumlah ilmuwan dan turis asal Belanda dari dulu secara gigih mengincar buku-buku itu.
"Besarnya rasa keingintahuan orang terhadap buku-buku ini, tidak bisa dilepaskan dari nama besar dan sosok seorang Bung Karno. Apalagi buku koleksi mantan Presiden RI itu sangat beragam, meliputi bidang kesenian, politik, agama, sastra, dan kesehatan. Sebagian besar buku-buku ini berbahasa Belanda dan sangat langka," ujarnya.
Rasa sedih dan keprihatinan, sampai kini tetap menyelimuti diri seorang Darwis. Sebab jangankan biaya untuk membuat duplikasi buku, biaya perawatan saja tak seperser pun dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Bengkulu sejak 15 tahun terakhir. Selama ini yang diandalkan cuma sumbangan pengunjung yang besarnya rata-rata Rp 500 - Rp 1.000, tergantung maunya mereka.
Dalam kondisi seperti itu, tidak perlu heran kalau sekarang kita menyaksikan buku-buku yang sudah rusak dan melapuk. Kondisi bangunan rumah kediaman Bung Karno di Bengkulu ini pun tak kalah "serem", merana tanpa pemeliharaan serius. Beberapa bagian tampak keropos, dinding bangunan berlumut dan genteng bocor. Lebih menyedihkan lagi, sebagai sebuah "rumah sejarah" yang pernah dihuni bertahun-tahun oleh salah satu pendiri negara RI itu justru sama sekali tidak pernah dilengkapi saluran telepon.Satu peristiwa teramat memprihatinkan pernah terjadi ketika aliran listrik ke rumah Bung Karno sempat diputus lama PLN. Hampir bertahun-tahun, rumah yang menjadi salah satu bukti sejarah itu gelap gulita tanpa penerangan selain lampu teplok.
"Beruntung tahun lalu Wapres Megawati Soekarnoputri berkunjung ke Bengkulu. Hanya sehari menjelang kedatangan putri Bung Karno itu, buru-buru pemerintah dan PLN setempat sibuk memasang sambungan listrik kembali. Jika tidak, bisa dipastikan rumah ini pasti masih gelap dan ditelantarkan begitu saja. Sebagai PNS rendahan, saya hanya bisa pasrah sewaktu listrik dicabut dulunya," tukasnya.
Darwis melukiskan, untuk membersihkan lingkungan bekas rumah pengasingan Soekarno seluas kurang lebih satu hektar, ia lakukan tiga kali dalam sebulan. Untuk kebutuhan operasional mesin pemotong rumput menghabiskan minyak campur 60 liter per dua bulan.
Selain itu, guna mengganti pisau pemotong rumput, dua bulan sekali, ia terpaksa merogoh kocek Rp 57.500. Sekiranya lir-nya putus, untuk penggantian harus dikeluarkan lagi biaya ekstra sekitar Rp 225.000. "Beruntung bisa menyisihkan sedikit demi sedikit uang gaji saya sebagai PNS di bidang Sejarah dan Kepurbakalaan Departemen Pendidikan Nasional Bengkulu," paparnya.
Pengabdian Darwis tampaknya memang tak kenal lelah. Begitu pulang dari tugas pokoknya di Kantor Dinas Diknas Bengkulu sekitar pukul 14.00, ia harus berbenah, menyiapkan diri melayani para pengunjung bekas rumah kediaman Soekarno. Sebab, para tamu tidak semata hari libur karena pada hari biasa pun banyak yang mampir ke situ. Beruntung ia diberi izin menempati rumah petak di bagian belakang rumah induk. Sehingga tak merepotkan tugas gandanya sepanjang hari, sejak 15 tahun lalu sampai sekarang.
BUKU koleksi Soekarno, menurut Abdul Manaf (meninggal usia 86 tahun 1997), cerita Darwis, jumlahnya sekitar 12 peti. Manaf tahu itu, karena dia yang memasok buku-buku tersebut diam-diam.
Waktu itu, Abdul Manaf agen Panji Islam di Bengkulu. Manaf tahu persis kesukaan Bung Karno yang doyan baca, sekaligus untuk mengisi keseharian di pengasingan. Khusus buku yang masih tersimpan di bekas rumah pengasingan sekitar 400 judul. Ini adalah buku koleksi Bung Karno yang berhasil diselamatkan bertahun-tahun.
"Dari tiga teman dekat Bung Karno, yakni Abdul Manaf, Bachtiar Karim dan Abdullah, saya mendapatkan banyak cerita tentang Soekarno. Mereka semua kini sudah tiada," jelas Darwis, yang saat senggang rutin menuliskan catatannya. Catatan itu sudah ada diterbitkan berbentuk buku, yaitu Rumah Kediaman Bung Karno pada Waktu Pengasingan di Bengkulu (1938-1942) dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris. Buku sederhana 16 halaman itu diterbitkan pertama Mei 1997. Harga buku ini memang sekadar pengganti ongkos cetak, cuma Rp 3.000. Buku itu praktis, sehingga laris. Malah sudah dua kali cetak ulang. Darwis pun pasrah, namanya tidak dicantumkan sebagai penulis, tapi atas nama orang lain.
"Jangankan berbicara royalti, ucapan terima kasih pun tidak pernah saya terima. Baik dari yang mengklaim sebagai penulis maupun penerbit. Beruntung saya masih simpan naskah aslinya dengan isi lebih lengkap dari buku yang sudah dicetak ulang itu," katanya, sembari melihatkan naskah asli itu.
Bung Karno di Bengkulu, katanya, juga diketahui pernah membuat dua lukisan. Salah satunya lukisan wanita cantik. "Sampai sekarang lukisan itu tidak ditemukan. Saya sudah cari ke mana-mana, bahkan sampai ke Muko-Muko (Bengkulu Utara) di perbatasan Sumatera Barat. Akan tetapi, hasilnya tetap nihil," ujar Darwis. (nal/zul)