Syeh Wali Lanang
Di Awal abad 14 M. Kerajaan Blambangan diperintah oleh Prabu Menak Sembuyu. Salah sorang keturunan Prabu Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit. Raja dan rakyatnya memeluk agama Hindu dan ada sebagaian yang memeluk agama Budha.
Pada suatu hari Prabu Menak Sembuyu gelisah, demikian pula permaisurinya, pasalnya putri mereka satu-satunya telah jatuh sakit selama beberapa bulan. Sudah diusahakan mendatangkan tabib dan dukun untuk mengobati tapi sang putri belum sembuh juga.
Memang pada waktu itu kerajaan Blambangan sedang dilanda pegebluk atau wabah penyakit. Banyak sudah korban berjatuhan. Menurut gambaran babad Tanah Jawa esok sakit sorenya mati. Seluruh penduduk sangat prihatin, berduka cita, dan hampir semua kegiatan sehari-hari menjadi macet total.
Sang Prabu hampir putus asa penyakit yang diderita putrinya. Dewi Sekardadu hanya terbaring di kamarnya, makin hari tubuhnya makin susut, tinggal kulit pembalut tulang. Tanda putri itu masih hidup hanyalah adanya nafas lemah yang masih keluar masuk dari hidungnya. Sepasang matanya tetap terpejam dan wajahnya pucat pasi, hampir seperti mayat.
“Kanda Prabu ……” ujar permaisuri. “Apakah Kanda tega membiarkan anak kita satu-satunya ini terus dalam keadaan begini ?”
“Apa maksudmu Dinda ?” sahut Prabu Menak Sembuyu. “Bukankah aku sudah berusaha mendatangkan semua ahli pengobatan di negeri ini. Bahkan belum lama berselang telah mendatangkan tabib terkenal dari Pulau Dewata. Kurangkah usahaku itu?”
“Bukan, bukan begitu maksudku Kanda ......”
“Lalu apa maumu ?”
“Buatlah sayembara,” kata permaisuri. “Siapa yang dapat menyembuhkan putri kita akan kita beri hadiah, kalau perlu kita ambil sebagai menantu.”
Prabu Menak Sembuyu terdiam beberapa saat. Pada akhirnya dia setuju atas saran istrinya. Segera dia perintahkan mahapatih kerajaan Blambangan yaitu Patih Bayul Sengara untuk mengumumkan bahwa siapa yang dapat menyembuhkan penyakit putrid Dewi Sekardadu akan dijodohkan dengan putrinya itu. Dan siapa dapat mengusir wabah penyakit dari Blambangan maka akan diberi separo dari wilayah kerajaan Blambangan.
Sayembara disebar di hampir pelosok negeri. Sehari, dua hari, seminggu bahkan berbulan-bulan kemudian tak ada seorangpun yang menyatakan kesanggupannya untuk mengikuti sayembara itu.
Permaisuri makin sedih hatinya. Prabu Menak Sembuyu berusaha menghibur istrinya dengan menugaskan Patih Bayul Sengara untuk mencari pertapa sakti guna mengobati penyakit putrinya.
Diiringi beberapa prajurit pilihan, Patih Bayul Sengara berangkat melaksanakan tugasnya. Para pertapa biasanya tinggal di puncak atau lereng-lereng gunung, maka kesanalah Patih Bayul Sengara mengajak pengikutnya mencari orang-orang sakti.
Berhari-hari mereka menempuh perjalanan, masuk hutan keluar hutan, naik dan turun gunung. Pada suatu ketika mereka bertemu dengan seorang Resi bernama Kandabaya.
Untuk membuktikan bahwa Resi Kandabaya itu memang sakti, maka sengaja sang patih memerintahkan para prajuritnya menyerang dan mengeroyok Sang Resi dengan senjata terhunus.
Sepuluh orang maju serentak menyerangsang Resi yang sedang duduk terpekur dalam semedi. Resi itu seperti tak menghiraukan adanya bahaya yang mengancam dirinya. Sepasang matanya masih terpejam. Tapi begitu sepuluh orang itu mendekat kearahnya dalam jarak dua langkah tubuh mereka tiba-tiba terpental sejauh sepuluh tombak, tubuh mereka terjerembab ke tanah, senjata mereka terlepas dari tangan dan mereka meringis kesakitan tanpa dapat bergerak untuk bangub lagi.
Patih Bajul sengara kaget mengetahui hal itu. Tapi dia masih penasaran. Diam-diam dia mencabut kerisnya. Sang Resi masih duduk bersila, sepasang matanya masih terpejam, Seperti tak terusik oleh prilaku Patih Bajul Sengara dan anak buahnya.
“Ssssst !” tiba-tiba Patih Bajul Sengara melempar kerisnya. Tepat kearah jantung sang Resi. Bukan sekedar lemparan biasa, melainkan lemparan seorang Mahapatih kerajaan Blambangan yang tentu juga memiliki kesaktian tinggi. Dan memang, lemparan keris itu disertai pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi.
Ujung keris itu meleset ke arah sang Resi, hampir saja menyentuh dada Sang Resi. Namun tiba-tiba keris itu membalik, melesat ke arah Patih Bajul Sengara. Patih Bajul Sengara melengak, secepat kilat dia merundukkan badan. Keris itu melesat di atas tubuhnya. Menghantam sebatang pohon sawo.
“Jresss !” keris itu terbenam ke batang pohon sawo yang cukup besar, tinggal gagangnya saja yang tampak. Patih Bajul Sengara hampik tak berkedip menyaksikan gagang kerisnya itu.
Belum lagi hilang rasa terkejutnya Sang Patih, dilihatnya batang pohon sawo itu mengeluarkan asap dan kulit pohon itu menjadi hitam. Tak lama kemudian buah dan pohon sawo itu rontok, berguguran ke tanah.
Serta merta Patih Bajul Sengara menjatuhkan diri, berlutut didepan sang Resi. Resi Kandabaya masih dalam sikap semula. Duduk bersila dengan mata terpejam. Seperti tak pernah terjadi suatu apa.
“Ampun …… ampunilah kekurangajaran hamba,” ujar Patih Bajul Sengara dengan terbata-bata.
Tak ada reaksi dari sang Resi.
Tiba-tiba ada seekor merpati putih hinggap di depan sang Resi. Merpati itu meletakkan selembar daun lontar yang dijepit di paruhnya. Dan sesaat kemudian merpati itu mengeluarkan bunyi. (mbekur istilah Jawanya). Aneh, sang Resi kemudian membuka sepasang matanya setelah mendengar suara si merpati. Sang Resi tersenyum dan segera mengelus-elus sayap merpati.
“Terima kasih Pethak ………” ujar sang Resi.” Sekarang kau boleh bermain-main atau beristirahat sesukamu.”
Merpati itu mengangguk-anggukkan kepala, seolah mengerti apa yang diucapkan sang Resi. Kemudian dia mengepakkan sayapnya, terbang ke sebuah pohon kenari tak jauh dari Padepokan Resi Kandabaya.
Sang Resi segera mengambil daun lontar yang diletakkan merpati tadi. Dia seperti tak menghiraukan adanya Patih Bajul Sangara yang membenturkan kepalanya berkali-kali ke lantai Padepokan.
“Ampun ......... ampunilah kekurangajaran dan kelancangan hamba menganggu ketenangan Bapa Resi ......... “ Demikian ucap Patih Bajul Sengara.
Resi Kandabaya masih tak menghiraukan sang patih. Dia sedang asyik membaca gurat-gurat berbentuk tulisan di daun lontar yang dipegangnya. Sesudah membaca tulisan didaun lontar, sang Resi bangkit berdiri. Berjalan kearah sepuluh prajurit yang menggeletak kesakitan tanpa dapat bergerak. Hanya dengan beberapa kali tepukan pada bagian-bagian tertentu di tubuh para prajurit itu maka kesepuluh anak buah Patih Bajul Sengara dapat bergerak lagi dan rasa sakit di sekujur tubuh mereka telah hilang. Serta merta sepuluh orang itu menjatuhkan diri berlutut didepan sang Resi.
Tapi Resi itu tidak menghiraukan mereka lagi. Dia berjalan kearah Padepokan tempatnya bersemedi tadi. Tapi kali ini dia tidak duduk bersemedi melainkan tegak didepan Patih Bajul Sengara.
Memang hebat dan sopan caramu bertamu kemari hai Patih Bajul Sengara !” tegur sang Resi.
“Ampun bapa Resi ......... hamba harus yakin bahwa orang yang hendak mintai pertolongan memang benar-benar mumpuni.” ujar Patih Bajul Sengara.
“Ya, aku sudah tahu hal itu,” tukas sang resi. “Kau hendak memintaku mengobati penyakit sang putri Dewi Sekardadu dan mengusir wabah pagebluk dari Blambangan atas perintah Prabu Menak Sembuyu!”
“Mohon ampun Bapa Resi, memang demikianlah adanya kedatangan hamba kemari.”
“Tapi kau salah alamat Patih ! Wabah penyakit itu sudah dikehendaki Dewata Agung. Aku tak mampu mengusirnya, juga tak mampu menyembuhkan Dewi Sekardadu.
“Tapi ……… hamba mohon petunjuk ……… “ kata Patih Bajul Sengara, dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Mumpung bisa bertemu dengan tokoh seperti Resi Kandabaya dia harus memperoleh hasil, setidak-tidaknya dia harus mendapatkan keterangan bagaimana cara mengobati atau mendapatkan orang yang mampu mengobati Dewi Sekardadu.
Resi Kandabaya seperti mengerti apa yang tersirat di hati Patih Bajul Sengara. Sesudah menarik nafas panjang karena kesal melihat sikap sang Patih diapun berkata, “Baiklah Patih, aku akan memberimu petunjuk. Pada saat itu hanya ada satu orang yang mampu menyembuhkan penyakit Dewi Sekardadu sekaligus mengusir wabah penyakit dari seluruh wilayah Blambangan. Tapi ……”,
Resi Kandabaya tidak meneruskan ucapannya. Ditatapnya tajam-tajam wajah Patih Bajul Sengara. Sang Patih makin menundukkan mukanya, tak ada keberanian baginya untuk bertatap muka dengan Resi yang terbukti sangat sakti itu. “Apapun yang terjadi, hamba ……… juga Gusti Prabu Menak Sembayu takkan peduli asal Dewi Sekardadu sembuh dari sakitnya.” ujar Patih Bajul Sengara untuk menghapus keraguan Resi Kandabaya.
“Benarkah? Tapi aku tidak yakin,” sahut sang Resi.” Akan terjadi sesuatu di luar perhitunganmu dan hal itu akan membakar hatimu. Tapi baiklah, kalau kau ingin mengetahui orang yang hendak menyembuhkan Dewi Sekardadu. Ikutilah merpati putih itu terbang.
Tapi kuperingatkan, jangan kau mencoba bersikap kurang ajar kepada orang yang hendak menyembuhkan Dewi Sekardadu itu. Dan apapun syaratnya yang diajukannya hendaknyan kau dan Prabu Menak Sembuyu meluluskannya.”
“Segala pesan Bapa Resi akan hamba perhatikan baik-baik.”
Sekarang sudah hampir malam, beristirahatlah di Padepokan ini. Besok pagi kalian boleh berangkat menuju gunung Selangu. Merpati putih akan mengantarmu hingga ke tempat tujuan.”
Demikianlah, Patih Bajul Sengara dan anak buahnya malam itu bermalam di Padepokan Resi Kandabaya. Esok harinya mereka sudah bersiap-siap berangkat kegunung Selangu.
“Sampaikan salam perdamaian kepada pertapa di gunung Selangu itu.” Pesan Resi Kandabaya sebelum Patih Bajul Sengara meninggalkan Padepokan.
“Pesan Bapa Resi akan hamba sampaikan,” jawab Patih Bajul Sengara penuh hormat.
Perjalanan ke gunung Selangu memakan waktu yang cukup lama. Walau mereka naik kuda pilihan tapi pada tengah hari barulah mereka sampai di gunung Selangu. Mereka terus mengikuti arah merpati putih terbang menuju suatu tempat. Ketika jalanan semakin naik, maka mereka menambatkan kudanya dan meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki.
Akhirnya merpati penunjuk jalan itu berhenti didepan sebuah goa. Saat itu hari mulai gelap. Tapi ada suatu keanehan, dari dalam goa itu memancar sinar terang, sebuah cahaya yang mampu menerangi tempat sekitarnya .
Patih Bajul Sengara memerintahkan para prajurit pengiring untuk menunggu di luar goa. Dia sendiri segera berjalan memasuki goa itu. Makin ke dalam makin terang cahaya yang memancar itu.
Akhirnya sepasang mata Patih Bajul Sengara terbelalak heran, ternyata cahaya itu bukan berasal dari sebuah lampu atau benda melainkan berasal dari tubuh seorang berjubah putih yang sedang bersujud di tanah. Seluruh tubuh dan pakaian orang itu mengeluarkan cahaya terang benderang. Ingat pesan Resi Kandabaya maka Patih Bajul Sengara tidak berbuat macam-macam yang justru akan membahayakan dirinya sendiri. Dengan bersabar dia menunggu orang itu bersujud kemudian duduk bertafakkur. Setelah selesai barulah Patih Bajul Sengara menyapanya.
“Saya Patih Bajul Sengara, datang kemari dengan membawa pesan alam perdamaian dari Resi Kandabaya,” ujar sang Patih.
Aku terima salam Resi Kandabaya,” ujar pertapa itu. “Sudah lama aku bersahabat dengan Resi Kandabaya walaupun hanya melalui selembar daun lontar yang diantar oleh merpati sang Resi.”
Patih Bajul Sengara lalu mengutarakan maksud kedatangannya menemui sang pertapa. Pertapa itu mengangguk –anggukkan kepala mendengar penjelasan sang Patih. “Sebelum aku menyatakan kesanggupanku terlebih dahulu kuperkenalkan diriku ini, “kata pertapa itu. “Namaku Maulana Ishak, berasal dari negeri Pasai. Aku bersedia mengobati Dewi Sekardadu dan sekaligus mengusir wabah penyakit dari Blambangan dengan syarat bahwa Prabu Menak Sembuyu dan keluarganya masuk agama Islam. Dan rakyat Blambangan bersedia mendengar nasehatku.”
Barangkali inilah hal-hal yang termasuk di luar perhitunganku, demikian bisik hati sang Patih. Soal pindah agama dia tidak berani memberi keputusan. Untuk itu dia harus menghadap sang Prabu lebih dahulu. Maka diapun berpamit kepada Syekh Maulana Ishak untuk pulang ke istana Blambangan, menyampaikan persyaratan yang diajukan pertapa itu.
“Ya, ada baiknya anda berunding dengan Prabu Menak Sembuyu lebih dahulu,” kata Syekh Maulana Ishak.
Terpaksa Patih Bajul Sengara kembali ke Blambangan dan menyampaikan persyaratan yang diajukan Syekh Maulana Ishak kepada Prabu Menak Sembuyu.
Tentu saja sangat berat bagi sang Prabu untuk melepaskan agama lama yang terlanjur diyakini selama bertahun-tahun, namun demi rasa kasih sayangnya pada Dewi Sekardadu, maka dia terpaksa memenuhi syarat yang diajukan Syekh Maulana Ishak. Patih Bajul Sengara diperintahkan menjemput Syekh Maulana Ishak. Sesampainya di goa gunung Selangu, Patih Bajul Sengara dipersilahkan berangkat ke Blambangan lebih dahulu. Syekh Maulana Ishak akan menyusul kemudian.
Tetapi betapa terkejut Patih Bajul Sengara ketika sampai di istana Blambangan. Ternyata Syekh Maulana Ishak sudah datang lebih dahulu. Bahkan sang Prabu Menak Sembuyu menegur keterlambatan sang Patih.
Sadarlah sang Patih, bahwa Syekh Maulana Ishak itu benar-benar pertapa sakti yang mumpuni. Dia yang menempuh perjalanan naik kuda masih dikalahkan dengan Syekh Maulana Ishak yang datang ke istana Blambangan hanya berjalan kaki.
Tiga malam Syekh Maulana Ishak melakukan tirakat untuk mengobati Dewi Sekardadu. Di malam keempat, sesudah melaksanakan shalat sunnah hajat ditiupkan wajah sang putri tiga kali. Seketika sang putri membuka matanya dan bangkit dari tidurnya. Seluruh isi istana gembira menyaksikan hal itu terlebih permaisuri dan Prabu Menak Sembuyu.
Prabu Menak Sembuyu menepati janjinya. Syekh Maulana Ishak diambil menantu. Dijodohkan dengan Dewi Sekardadu. Sambil menunggu keadaan tubuh Dewi Sekardadu supaya benar-benar pulih seperti sedia kala, Syekh Maulana Ishak berkeliling ke seluruh negeri Blambangan untuk memberikan nasehat dan memudarkan pengaruh pagebluk yang melanda rakyat Blambangan.
Dari penyelidikan yang dilakukan oleh Syekh Maulana Ishak akhirnya diketahui bahwa rakyat Blambangan sangat ceroboh dalam menjaga kebersihan dan kesehatan mereka. Makanan sehari-hari mereka banyak yang mengandung racun dan penyakit, cara mereka buang hajat disembarang tempat dan mereka jarang mandi atau membersihkan tubuh mereka.
Setelah Maulana Ishak memberikan penyuluhan merawat kesehatan dan membersihkan diri serta lingkungan tempat tinggal. Dan nasehat itu dilaksanakan maka banyaklah rakyat Blambangan yang sembuh dari sakitnya.
Hanya beberapa orang yang penyakitnya tergolong berat terpaksa mendapat perawatan khusus dari Syekh Maulana Ishak. Dan semuanya berhasil disembuhkan seperti sedia kala.
Tibalah pada hari yang ditentukan, pernikahan Dewi Sekardadu dan Syekh Maulana Ishak dilaksanakan. Upacara diselenggarakan dengan penuh meriah. Karena Syekh Maulana Ishak bukan hanya berhasil menyembuhkan penyakit Dewi Sekardadu melainkan juga mengusir wabah penyakit dari Blambangan maka dia juga diangkat sebagai raja muda atau Adipati. Mendapat kekuasaan separo dari wilayah kerajaan Blambangan, sesuai dengan janji yang diucapkan oleh Prabu Menak Sembuyu sendiri.
Menurut Babad Tanah Jawi, dalam upacara pernikahan yang diselenggarakan itu sudah terjadi ketegangan antara Syekh Maulana Ishak dengan pihak keluarga kerajaan. Yaitu disaat jamuan makan dikeluarkan. Ternyata makanan yang dihidangkan kepada Syekh Mulana Ishak kebanyakan adalah terdiri dari daging binatang haram, seperti babi hutan, harimau, ular, kera dan lain-lain.
Posisi Syekh Mulana Ishak pada saat itu sungguh sulit sekali. Kalau dia tidak mau menyantap hidangan itu nantinya disangka bersikap sombong dan menghina Prabu Menak Sembuyu. Jika disantap dagingnya terdiri dari hewan yang diharamkan agama Islam, maka diapun berdoĆ” kepada Allah, memohon jalan keluar yang terbaik.
Sesuai berdoĆ” terjadilah sesuatu diluar dugaan. Daging-daging binatang haram yang sudah dimasak itu tiba-tiba berubah menjadi binatang hidup berloncatan kesana–kemari. Yang asalnya dari ular menjadi ular, yang berasal dari harimau menjadi harimau, yang asalnya babi hutan menjadi babi hutan. Tentu saja suasana menjadi panik. Pesta meriah geger, Syekh Maulana Ishak mengajak isterinya pulang di Kadipaten baru yang harus diperintahnya.
Syekh Maulana Ishak hidup berbahagia bersama istrinya. Tapi hal itu tidak berlangsung lama, karena sejak terjadinya keributan pada jamuan makan itu Patih Bajul Sengara meniupkan isyu jahat kepada Prabu Menak Sembuyu.
Menurut Patih Bajul Sengara, Syekh Maulana Ishak sengaja mempermalukan sang Prabu dengan menghidupkan binatang yang sudah dimasak dan siap dimakan para peserta pesta. Bukan hanya itu saja, keberhasilan Syekh Maulana Ishak berdakwa mengajak rakyat Blambangan masuk Islam dianggap membahayakan kedudukan Prabu Menak Sembuyu selaku penguasa tunggal kerajaan Blambangan. Karena semakin hari semakin banyak pengikut Syekh Maulana Ishak yang masuk Islam. Bahkan tidak sedikit rakyat di wilayah kekuasaan istana Blambangan pindah menjadi penduduk Kadipaten yang dipimpin oleh Syekh Maulana Ishak.
Lama-lama Syekh Maulana Ishak merebut kerajaan Blambangan ini dari tangan Gusti Prabu, demikian hasut Patih Bayul Sengara. “Ya, tidak mustahil dia akan berontak dan memaksa kita benar-benar menjadi pengikutnya. Memang sejauh ini dia tidak tahu bahwa kita pura-pura saja masuk Islam. Tapi pada akhirnya dia pasti mengetahuinya.
Prabu Menak Sembuyu memang hanya pura-pura masuk agama Islam demi kesembuhan putrinya. Kini setelah termakan oleh hasutan Patih Bajul Sengara dia mulai menaruh kebencian kepada menantunya itu.
Tujuh bulan sudah Syekh Maulana Ishak menjadi adipati baru di Blambangan.
Makin hari semakin bertambah banyak saja pengikutnya. Hati Prabu Menak Sembuyu makin panas mengetahui hal ini. Sementara Patih Bajul Sengara tak henti-hentinya mempengaruhi sang Prabu dengan hasutan-hasutan jahatnya.
Patih Bajul Sengara sendiri tanpa sepengetahuan sang Prabu sudah mengadakan terror pada pengikut Syekh Maulana Ishak. Tidak sedikit penduduk Kadipaten yang dipimpin Syekh Maulana Ishak di culik disiksa dan dipaksa kembali kepada agama lama. Walau kegiatan itu dilakukan secara rahasia dan sembunyi-sembunyi pada akhirnya Syekh Maulana Ishak mengetahui juga.
Pada saat itu Dewi Sekardadu sedang hamil tujuh bulan. Syekh Maulana Ishak sadar, bila hal itu diteruskan akan terjadi pertumpahan darah yang seharusnya tidak perlu. Kasihan rakyat jelata yang harus menanggung akibatnya. Maka dia segera berpamit kepada istrinya untuk meninggalkan Blambangan.
“Sungguh tidak pantas seorang anak menantu berperang melawan mertuanya. Lebih tidak tega lagi hatiku bila melihat rakyat yang tak berdosa, sama-sama sewilayah Blambangan harus berperang habis-habisan. Yang diinginkan Rama Prabu adalah diriku, maka relakanlah daku pergi kembali ke Pasai. Bila anak kita lahir laki-laki berilah nama Raden Paku, jika lahir perempuan terserah adinda menamakannya.
Demikianlah, pada tengah malam, dengan hati berat karena harus meninggalkan istri tercinta yang hamil tujuh bulan, Syekh Maulana Ishak berangkat meninggalkan Blambangan seorang diri.
Esok harinya sepasukan besar prajurit Blambangan yang dipimpin Patih Bajul Sengara menerobos masuk wilayah Kadipaten yang sudah ditinggalkan Syekh Maulana Ishak. Tentu saja Patih kecele, walaupun seluruh isi istana di obrak-abrik dia tidak menemukan Syekh Maulana Ishak yang sangat dibencinya.
Sang Patih hanya dapat memboyong Dewi Sekardadu untuk pulang ke istana Blambangan. Seluruh pengikut Syekh Maulana Ishak sudah diperintah Dewi Sekardadu untuk menyerah agar tidak terjadi pertumpahan darah. Patih Bajul Sengara untuk sementara merasa bangga atas kemenangannya itu. Tapi sesungguhnya dendam kesumat masih membara di dadanya.
Dua bulan kemudian dari rahim Dewi Sekardadu lahir bayi laki-laki yang elok rupanya. Sesungguhnya Prabu Menak Sembuyu dan permaisurinya merasa senang dan bahagia melihat kehadiran cucunya yang montok dan rupawan itu.
Bayi itu lain daripada yang lain, wajahnya mengeluarkan cahaya terang. Terlebih Dewi Sekardadu, dengan kelahiran bayinya itu hatinya yang sedih ditinggal suami sedikit terobati.
Seisi istana bergembira.
Lain halnya dengan Patih Bajul Sengara. Dibiarkannya bayi itu mendapat limpahan kasih saying keluarga istana selama empat puluh hari. Sesudah itu dia menghasut Prabu Menak Sembuyu. Kebetulan pada saat itu wabah penyakit berjangkit lagi di Blambangan. Maka Patih Bajul Sengara mengkambing hitamkan Syekh Maulana Ishak sebagai penyebabnya.
“Semua bencana yang menimpa rakyat Blambangan ini disebabkan ulah Syekh Maulana Ishak. Dewa murka karena penduduk Blambangan banyak masuk agama Islam dan meninggalkan kepercayaan lama. Jika penduduk Blambangan ingin terhindar dari bencana kita harus kembali kepada agama lama, dan melenyapkan semua bekas peninggalan Syekh Maulana Ishak,” demikian kata sang Patih.
“Apa maksudmu dengan melenyapkan bekas peninggalan Syekh Maulana Ishak itu?”
tanya sang Prabu.
“Salah satu diantaranya ialah bayi keturunannya, Gusti Prabu !”
Maksudmu aku harus membunuh cucuku sendiri ?”
“Benar gusti Prabu ! Cepat atau lambat bayi itu akan menjadi bencana di kemudian hari. Wabah penyakit inipun menurut dukun-dukun terkenal di Blambangan ini disebabkan adanya hawa panas yang memancar dari jiwa bayi itu !” kilah Patih Bajul Sengara dengan alasan yang dibuat-buat.
Sang Prabu tidak cepat mengambil keputusan, dikarenakan dalam hatinya dia terlanjur menyukai kehadiran cucunya itu, namun sang Patih tiada bosan-bosannya menteror denga hasutan dan tuduhan keji akhirnya sang Prabu terpengaruh juga. Walau demikian tiada juga dia memerintahkan pembunuhan atas cucunya itu secara langsung. Bayi yang masih berusia empat puluh hari dimasukkan kedalam peti dan diperintahkan untuk dibuang kelaut.
“Biarlah Dewata sendiri yang menentukan nasibnya di Samodra.” Ujar sang Prabu kepada Dewi Sekardadu.
Tentu saja Dewi Sekardadu menangis dengan suara menghayat hati. Ibu mana yang rela bayinya dibuang begitu saja tanpa alasan yang masuk di akal. Apalagi tempat pembuangan itu adalah lautan besar di selat Bali.
Dengan hati hancur ia ikut mengantarkan upacara Pelarungan atau pembuangan bayi yang tak berdosa itu. Dengan tatapan kosong ia memandang ke arah peti yang dibuang ke tengah lautan, peti itu makin lama makin ke tengah pada akhirnya hilang dari pandangan mata. Meski demikian wanita muda itu tidak beranjak dari tempatnya. Suasana di tepi pantai itu sudah sunyi senyap, hanya debur ombak yang terdengar membentur batu karang. Matahari mulai condong ke langit barat. Para prajurit yang diperintahkan menunggu Dewi Sekardadu segera pulang ke istana, melaporkan prilaku sang putri yang masih duduk tepekur di tepi pantai.
Di saat para prajurit meninggalkannya itulah Dewi sekardadu beranjak dari tempatnya duduk. Dengan gontai dia melangkahkan kakinya. Bukan ke istana Blambangan. Melainkan mengembara tanpa tujuan yang pasti. Dan tak seorangpun dapat menemukannya lagi.
Belakangan baru diketahui bahwa sikap benci sang Patih kepada Syekh Maulana Ishak adalah dikarenakan ambisinya untuk dapat memperistri Dewi Sekardadu sendiri. Tapi ambisi itu memudar manakala kenyataan berbicara lain, Dewi Sekardadu yang telah lama diimpikannya sebagai batu loncatan untuk dapat mewarisi tahta Blambangan ternyata lebih dahulu di sunting oleh Syekh Maulana Ishak.
Meski demikian ambisi itu tak pernah padam. Setelah berhasil menyingkirkan Syekh Maulana Ishak dari bumi Blambangan, dia berharap akan dapat berjodoh dengan Dewi Sekardadu yang telah menjadi janda, demikian pikir sang Patih. Untuk itu dia harus menyingkirkan putra Syekh Maulana Ishak, supaya Dewi Sekardadu benar-benar dapat melupakan suaminya yang dahulu dan di belakang hari bayi itu tidak menjadi perintang cita-citanya.
Kini, setelah mendengar laporan para prajurit bahwa Dewi Sekardadu yang duduk terpekur di tepi pantai hingga sore hari ternyata sudah tidak ada di tempat. Patih itu kelabakan, dia perintahkan ratusan prajurit untuk mencari sang putrid, namun itu sia-sia belaka. Sang Putri seolah-olah lenyap di telan bumi.
Konon, Syekh Maulana Ishak sebelum meneruskan perjalanan ke negeri Pasai sempat mampir ke Ampeldenta di Surabaya. Kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel dia berpesan, apabila bertemu dengan anak yang pernah dibuang ke laut oleh Prabu Menak Sembuyu itu supaya dinamakan Raden Paku dan hendaklah Raden Rahmat suka mendidiknya secara Islami.
Sudah barang tentu Sunan Ampel tidak berkeberatan menerima amanat itu. Jika kita amati di dalam Babat Tanah Jawa, sesudah pertemuan dengan Sunan Ampel, Syekh Maulana Ishak masih terus mengembara di sekitar Pulau Jawa terutama di bagian Tengah. Dan kemudian beliau mendapat sebutan Syekh Wali Lanang.
Kemudian berangkatlah Syekh Maulana Ishak ke negeri Pasai. Mendirikan perguruan Islam di sana dan terkenal sebutan Syekh Awwalul Islam.
Tetapi, berdasarkan bukti adanya makam Syekh Maulana Ishak di Gresik dekat makam Maulana Malik Ibrahim, maka di duga pada usia lanjut atau pada jaman kejayaan Sunan Giri. Syekh Maulana Ishak itu kembali ke Jawa, mendampingi Sunan Giri yang memerintah di Giri Kedaton dan kemudian wafat di Gresik lalu dimakamkan tak jauh dari komplek pemakaman Syekh Maulana Malik Ibrahim.