Kolom Jean van de Kok 11-10-2006
Kelompok kanan reaksioner Belanda selalu menganggap Soekarno seorang "quisling" yang menjual bangsanya kepada Jepang. Mereka inilah yang sejak awal berdirinya Republik Indonesia selalu bergembar-gembor ihwal Soekarno sebagai "quisling" Asia.
Siapa Quisling?
Quisling adalah Perdana Menteri Norwegia yang selama perang dunia kedua bekerjasama dengan tentara Nazi Jerman yang menduduki negaranya. Ia menjadi lambang bagi mereka yang berkhianat, bekerjasama dengan musuh bangsanya sendiri. Dalam hal ini terutama musuh sekutu selama perang dunia kedua, yaitu poros fasis/nazi: Berlin, Roma dan Tokio. Sejak itu Quisling berubah dari nama seorang tokoh politik Norwegia menjadi kata umpatan bagi seseorang yang dianggap pengkhianat: ia adalah seorang "quisling". Saya teringat hal ini ketika beberapa hari lalu diajak ngobrol oleh teman saya. Ia adalah putra seorang tokoh minoritas di Indonesia yang dekat sekali dengan keluarga Soekarno. Kami membicarakan buku yang baru terbit ihwal perisitiwa G-30S dan peran Soekarno dalam peristiwa ini. Penulisnya: Antonie Dake, judulnya Sukarno File, berkas-berkas Soekarno 1965-1967. Dengan penuh percaya diri Antonie Dake berkesimpulan: Soekarno adalah dalangnya, Soeharto adalah: "...pada waktu itu seorang komandan yang berpangkat agak bawahan dalam Angkatan Darat dan bersifat a-politik, setelah 40 tahun kemudian tidak dapat dibuktikan memiliki pengetahuan dini mengenai kudeta itu" (halaman 340). Antonie Dake adalah seorang Belanda yang sejak puluhan tahun tekun sekali meneliti peran Soekarno dalam peristiwa menyedihkan ini. "Monomaan" kata Belandanya, fanatik dengan dorongan mental yang kuat sekali. Hasil jerih payahnya ternyata laku juga di pasar buku Indonesia, demikian tukasnya dengan bangga, hanya saja keluarga bung Karno "not amuse" (tidak senang). Logis tentu saja, sikap Antonie Dake ini, demikian tukas teman obrolan saya tadi, mereka (orang Belanda) 'kan benci Soekarno, ketika ia jatuh dan digantikan Soeharto koran kanan Belanda de Telegraaf dengan huruf-huruf tebal menulis di halaman depannya : "Soekarno tabé".
Siapa Quisling?
Quisling adalah Perdana Menteri Norwegia yang selama perang dunia kedua bekerjasama dengan tentara Nazi Jerman yang menduduki negaranya. Ia menjadi lambang bagi mereka yang berkhianat, bekerjasama dengan musuh bangsanya sendiri. Dalam hal ini terutama musuh sekutu selama perang dunia kedua, yaitu poros fasis/nazi: Berlin, Roma dan Tokio. Sejak itu Quisling berubah dari nama seorang tokoh politik Norwegia menjadi kata umpatan bagi seseorang yang dianggap pengkhianat: ia adalah seorang "quisling". Saya teringat hal ini ketika beberapa hari lalu diajak ngobrol oleh teman saya. Ia adalah putra seorang tokoh minoritas di Indonesia yang dekat sekali dengan keluarga Soekarno. Kami membicarakan buku yang baru terbit ihwal perisitiwa G-30S dan peran Soekarno dalam peristiwa ini. Penulisnya: Antonie Dake, judulnya Sukarno File, berkas-berkas Soekarno 1965-1967. Dengan penuh percaya diri Antonie Dake berkesimpulan: Soekarno adalah dalangnya, Soeharto adalah: "...pada waktu itu seorang komandan yang berpangkat agak bawahan dalam Angkatan Darat dan bersifat a-politik, setelah 40 tahun kemudian tidak dapat dibuktikan memiliki pengetahuan dini mengenai kudeta itu" (halaman 340). Antonie Dake adalah seorang Belanda yang sejak puluhan tahun tekun sekali meneliti peran Soekarno dalam peristiwa menyedihkan ini. "Monomaan" kata Belandanya, fanatik dengan dorongan mental yang kuat sekali. Hasil jerih payahnya ternyata laku juga di pasar buku Indonesia, demikian tukasnya dengan bangga, hanya saja keluarga bung Karno "not amuse" (tidak senang). Logis tentu saja, sikap Antonie Dake ini, demikian tukas teman obrolan saya tadi, mereka (orang Belanda) 'kan benci Soekarno, ketika ia jatuh dan digantikan Soeharto koran kanan Belanda de Telegraaf dengan huruf-huruf tebal menulis di halaman depannya : "Soekarno tabé".
Quisling AsiaSenang dan lega juga kelompok kanan reaksioner Belanda yang selalu menganggap Soekarno seorang "quisling" yang menjual bangsanya kepada Jepang. Mereka inilah yang sejak awal berdirinya Republik Indonesia selalu bergembar-gembor ihwal Soekarno sebagai "quisling" Asia. Anehnya Mohammad Hatta, teman seperjuangan Soekarno yang selalu mendampingnya dalam menghadapi Dai Nippon, dianggap serius oleh Belanda, tak ada seorang pun di Belanda yang mencapnya "quisling". Dan ketika Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia pada tahun 1949 , maka bukan Soekarno, sebagai presiden meneken perjanjian Konperensi Meja Bundar di Amsterdam bersama kepala negara Belanda Ratu Juliana, namun wakil presiden Mohammad Hatta. Belum saatnya seorang "Quisling Asia" datang di Belanda. Bisa geger, baik dalam parlemen maupun publik Belanda. Baik media maupun kelompok-kelompok kanan kolonial Belanda saat itu memfokus sikap anti RI mereka pada sosok Soekarno dan umpatan "quisling" itu sering mereka gunakan. Bahkan seorang politikus moderat seperti perdana menteri Belanda saat itu Willem Drees dari partai sosial-demokrat, Partai van de Arbeid, meragukan integritas Soekarno selama perang dunia kedua ketika Nusantara diduduki Jepang. Dengan kata lain, apakah Soekarno bukan seorang "quisling" dan kalau memang benar, maka kasian juga rakyat Indonesia yang akan dipimpinnya. Sikap frustrasi sementara kalangan di Belanda di masa silam terhadap Soekarno dampaknya justru perhatian yang berlebihan terhadap sosok presiden pertama ini. Menurut saya ini salah kaprah, menciptakan seorang dalang adalah meremehkan para pelaku dan korban yang dianggap boneka wayang ditangan sang dalang. Dan dalam kasus G-30S sang dalang adalah sosok yang menyeramkan, tanpa moral dan dengan tangan berlumuran darah. Dan citra itulah rupanya yang diinginkan oleh mereka untuk Soekarno, mereka yang masih merasa susah dalam menanggapi sang "quisling" Soekarno.
Keinginan SoekarnoLalu bagaimana sikap Soekarno sendiri terhadap Belanda? Media Belanda sering menunjuk pada keinginan Soekarno untuk berkunjung ke negara penjajah, dari generasi nasionalis pertama, Soekarno lah yang termasuk belum pernah bertandang ke Belanda. Hal ini juga ditulis seorang diplomat Belanda dalam memoarnya. Ia adalah C.D. Barkman yang menjadi kuasa usaha Belanda pertama setelah hubungan Indonesia-Belanda pulih kembali pada awal tahun 60an. Salah satu tugasnya adalah mempersiapkan kunjungan Soekarno ke Belanda. Ada dua persyaratan untuk kunjungan ini: Indonesia harus mengganti rugi aset Belanda yang dinasionalisasi selama konflik Irian, dan hukuman mati untuk presiden RMS Chris Soumokil harus ditiadakan, karena ini akan ditolak oleh parlemen Belanda dan masyarakat Maluku di Belanda. Ihwal ganti rugi Indonesia bagi aset Belanda disepakati oleh menlu Indonesia Soebandrio dengan menlu Belanda Joseph Luns. Teman-teman Indonesia yang protes Indonesia kok bayar ganti rugi pada penjajahnya, inilah sebabnya: demi memenuhi keinginan Soekarno datang ke Belanda. Ihwal hukuman mati Chris Soumokil disetujui akan ditunda, akhirnya Soehartolah yang melaksanakannya. Dan ironisnya, Soehartolah yang diundang resmi ke Belanda. Kunjungan yang dibayangi aksi protes dan penyanderaan pemuda Maluku.
Ironis.
Disetujui oleh Indonesia dan Belanda, Soekarno akan mengunjungi Belanda sekitar akhir 1965, demikian Barkman dalam memoarnya. Eh, ternyata gagal gara-gara G-30S. Jadi saya heran: masa Soekarno mendalangi peristiwa berdarah ini yang jelas menghalangi keinginannya yang paling besar yaitu datang ke Belanda, sampai ia rela bayar ganti rugi segala
Radio Nederland Siaran Indonesia - Ranesi.