Jumat, 17 Februari 2012

ADVOCATES OF CHANGE


ADVOCATES OF CHANGE
Advocate adalah pengacara, tapi Advocates terjemahannya Penyokong atau Penganjur. Advocates of Change artinya Penyokong Perubahan. Sering lebih ekstrimnya dikatakan Agent of Change (Agen perubahan). Maksudnya tentu seorang tokoh yang mampu melakukan perubahan.
Tadi, baru saja setelah acara Editorial di Metro TV (20 Juni 2011), ditayangkan mata acara Advocates of Change. Tokohnya adalah Margaret Tatcher, mantan Perdana Menteri Inggris era 80-an. Dalam tayangan itu Wanita Besi ini dipuji sebagai sosok pemimpin Inggris yang berhasil. Apakah demikian ? Paling tidak itulah opini yang muncul pada wanita yang memenangkan 3 kali pemilihan itu.
Keprihatinan saya terjadi, karena pada acara sebelumnya Editorial, terkesan kala Presiden SBY adalah Presiden RI keenam yang paling menderita karena dianggap tidak punya kemampuan sebagai pemimpin. Pasalnya soal Ruyati binti Sapubi, TKI di Saudi Arabia yang sudah di pancung dimana muncul opini kalau Pemerintah tidak berbuat apa-apa. Apa betul begitu ? Paling tidak inilah kesan masyarakat yang sudah gandrung pada kebebasan pers ini. Walhasil SBY dicitrakan seolah sebagai pemimpin yang serba bersikap dan bertindak salah. Membaca Kompas.Com(http://internasional.kompas.com/read/2011/06/19/11014581/Ruyati) : Eksekusi mati terhadap PRT Migran Indonesia Ruyati binti Sapubi di Saudi Arabia adalah bentuk keteledoran pemerintah melakukan diplomasi. Eksekusi mati ini bukti pidato Presiden SBY pada sidang ILO ke-100 pada 14 Juni 2011 mengenai perlindungan PRT migran di Indonesia hanya buaian saja. Bukan main opini ini rasanya belum pernah terjadi pada Presiden RI pada waktu sebelumnya. Apakah tidak ada pemimpin kita yang lebih baik dari ini ? lalu apakah ini hanya kesalahan pribadi atau sistem ? Mungkin salah satu atau keduanya barangkali ? Hampir tidak ada anggota masyarakat yang mempersoalkan Ruyati sebagai “The Killer”, lebih terkesan dia sebagai “Indonesian Hero”…..Bukan main..
Saya teringat pada kepemimpinan Sjahrir. Dikala RI baru saja merdeka pada tahun 1946. Saat itu juga terjadi krisis kepeimpinan. Soekarno masih dianggap pemimpin gagal karena citra sebagai antek Jepang atau Quisling. Lebih-lebih kepercayaan oleh pihak sekutu sebagai pemenang perang dunia ke II pada RI kurang mendasar. Kabinet pertama RI sudah tidak dipercaya lagi. Padahal itu adalah pemerintah yang legitimate artinya sesuai dengan UUD 1945 dimana kabinet pemerintah adalah kabinet Presidensiel dan penetapan Presiden dan Wakil Presiden oleh PPKI dimana akhirnya memungkinkan oleh Presiden diangkatnya para Menteri atau para pembantunya. Cilakanya para pembantunya itu sudah dicap sebagai antek Jepang juga. Ini semua mengalami perubahan saat saat sidang KNIP (Komiten Nasional Indonesia Pusat) pertama pada bulan Oktober 1945 dimana secara demokratis mengusulkan Maklumat Pemerintah no.X, soal perubahan KNIP yang awalnya sekedar badan pembantu Presiden menjadi badan legislatif alias sebuah perlemen Indonesia. Saat itu juga dibentuk BP KNIP (Badan Pekerja) . Sebagai ketua BP KNIP Sjahrir yang terpilih secara demokratis juga, mulai beraksi. Antara lain membuat sejumlah rancangan undang-undang misalnya usul BP KNIP no.5 yaitu soal pertanggung jawaban menteri-menteri kepada parlemen. Dengan tidak disadari maka berubahlah konstitusi UUD 1945 itu. Tapi semua ini menguntungkan Presiden juga. Lebih-lebih karena keadaan kemudian untuk itu dibentuk jabatan Menteri Pertama alias Prdana Menteri. Dan PM itu adalah Sjahrir.
Saya utarakan ini bukan karena kejadian itu merupakan Das Sollen (adalah segala sesuatu yang mengharuskan kita untuk berpikir dan bersikap) tapi lebih kepada Das Sein (adalah merupakan peristiwa konkrit yang terjadi). Jadi kenyataannya memang demikianlah yang terjadi yang tertulis dalam sejarah Indonesia. Tapi hal tersebut rupanya sangat menolong. Pemerintahan bisa berjalan dimana tugas dan tanggung jawab Kepala Negara (Presiden) bisa dibagi-bagi. Sasaran serangan politik sekutu termasuk kaum yang anti pemerintah bisa ditangkis. Presiden tidak lagi sendirian dan babak belur. Semua orang tahu bahwa arsitek perubahan ini adalah Sjahrir. Namun dibawah bayang-bayang Soekarno.
Lalu apa kira-kira yang bisa dilakukan SBY agar tidak terperosok dalam lubang yang sama. Artinya tidak menyerah pada kebijakan menghadapi soal Korupsi, TKI, Politik Partai sampai Lapindo dan segala tek-tek bengek lainnya ? Mungkin seperti Sjahrir antara lain membagi peran pada menteri-menterinya barangkali. Biarin saja Muhaimin atau Marti menghadap DPR sendiri soal TKI di Saudi. Kalau itu sudah dilakukan kemarin…sudah cukup baik, tapi itu kan baru mendengar pendapat !. Tanggung jawab sih kembaliin aja pada Presiden. Habis perkara….lalu tiarap. Yang bener aja…kesian kan sang Presiden.
Mungkin memang perlu dilahirkan orang sebagai Presiden yang bukan hanya bijaksana tapi juga berani tanpa keragu-raguan. Soekarno dan Soeharto telah menunjukkan kemampuannya meskipun untuk itu perlu memberlakukan sistim yang otoriter dan membrangus pers. Habis perkara……