Senin, 12 Desember 2011

PERIODISASI PERKEMBANGAN BUDAYA PADA MASYARAKAT AWAL INDONESIA BERDASARKAN BUKTI ARKEOLOGI

Berdasarkan Arkeologi (ilmu yang mempelajari peninggalan purbakala dari manusia pra sejarah), perkembangan budaya manusia Indonesia dapat di golongkan menjadi beberapa periode yaitu periode jaman batu (batu tua, batu tengah, batu muda, dan jaman logam perunggu).
 

JAMAN BATU
Paleolithikum (batu tua)

Ciri dari jaman ini adalah peralatan buat dari batu masih kasar dan belum di asah. Alat dari batu ini di buat dengan cara membenturkan batu yang satu dengan yang lainnya, pecahan batu yang menyerupai kapak kemudian mereka gunakan sebagai alat.
Cara hidup manusia pada jaman plleolithikum adalah: nomad dalam kelompok kecil, tinggal dalam gua atau ceruk karang, berburu, mengumpulkan makanan (food gathering). Menurut Teuku Jacob, bahasa sebagai alat komunikasi telah ada dalam tingkat sederhana.
Berdasarkan tempat penemuannya, jaman palleolithikum terbagi atas kebudayaan Pacitan dan Ngandong. Pada kebudayaan pacitan, peralatan yang di hasilkan adalah kapak genggam, alat penetak (chopper), yang ditemukan oleh Koenigswald pada tahun 1935. Selain di Pacitan, alat – alat tersebut di temukan pula di beberapa daerah seperti : Sukabumi (Jabar) , Parigi, Gombong, (Jateng) , Lahat (Sumsel), Lampung , Bali, Sumbawa, Flores, Sulsel, Kalsel dan Timor. Alat-alat tersebut di temukan pada lapisan yang sama dengan di temukannya fosil Pitechanthropus Erectus.
Pada kebudayaan ngandong, peralatan yang ditemukan adalah flakes (alat serpih) berupa pisau atau alat penusuk. Disamping itu ditemukan pula peralatan dari tulang dan tanduk berupa belati, mata tombak yang bergerigi, alat pengorek ubi, tanduk menjangan yang diruncingkan dan duri ikan pari yang diruncingkan. Alat-alat tersebut ditemukan pula di daerah lain seperti di Sangiran dan Sargen (Jateng). Manusia pendukung kebudayaan Ngandong adalah Homo Soloensis dan Homo Wajakensis, karena di temukan pada lapisan tanah yang sama dengan ditemukannya peralatan kebudayaan Ngandong.


 
Mesolitihkum (batu tengah)
Ciri dari jaman ini adalah peralatan dari batu yang telah di asah bagian sisi tajamnya. Jaman ini merupakan peralihan dari Palleolithikum ke Neolithikum. Yang menarik dari jaman Messolithikum adalah di temukannya tumpukan sampah dapur yang kemudian di beri istilah Kjokkenmoddinger dan Abris sous roche oleh penelitinya yaitu Callenfels yang juga digelari sebagai bapak prasejarah).
Kjokkenmoddinger adalah tumpukan kulit kerang dan siput yang telah membatu, yang banyak di jumpai di pinggir pantai. Sedangkan Abris sous roche adalah tumpukan dari sisa makanan yang telah membatu di dalam gua.
Cara hidup Messolhitikum adalah sebagian masih food gathering dan berburu tetapi sebagian telah menetap dalam gua dan bercocok tanam sederhana (berladang) menanam umbi-umbian. Mereka juga telah pula menjinakan hewan dan menyimpan hewan-hewan buruannya sebagai langkah awal untuk berternak.  

Mereka telah membuat gerabah, mengenal kesenian dalam bentuk lukisan di dinding gua (lukisan gua) ketika mereka telah menetap. Lukisan tersebut berupa gambar telapak tangan berlatar belakang warna merah , gambar babi rusa yang tertancap Panah (di gua Leang-Leang, Sulsel). Penelitiannya dilakukan oleh Heekren Palm pada tahun 1950 di gua pulau Muna , dimana berhasil di temukan berbagai lukisan manusia, kuda, rusa, buaya, anjing. Sedangkan di Maluku dan Papua ditemukan lukisan gua dalam bentuk gambar cap tangan, kadal, manusia, burung, perahu, mata, dan matahari.
Pada jaman Messolhituikum terbagi atas 3 kelompok budaya : kebudayaan flakes (fleks culture), kebudayaan pebble (pebble culture) , dan kebudayaan tulang (bone culture). kebudayaan ini di dukung oleh manusia dari jenis papua melanesoid yang berasal dari Indo China .  

Flakes culture atau peralatan berupa alat serpih, yang telah ada sejak jaman Palleolithikum, menjadi sangat penting pada jaman messolithikum karena memunculkan corak tersendiri. Terutama setelah mendapatkan pengaruh dari budaya daratan. Dua orang peneliti berkebangsaan Swiss (Fritz Sarasin dan Paul Sarasin ) antara tahun 1893-1896, melakukan penelitian di Sulsel, dan berhasil menemukan fleks . Peralatan sejenis juga di temukan di daerah lain yaitu Bandung (fleks dari obsidian yaitu batu hitam yang indah), Flores, NTT dan Timor. Flakes culture merupakan pengaruh dari Asia daratan yang masuk ke Indonesia melalui jalur timur yaitu Jepang, Taiwan, Philipina, Sulawesi.  
Pebble culture, peralatan berupa kapak genggam sumatera (pebble), kapak pendek (hacte curte), batu penggiling, dan pisau. Callenfels pada 1925, melakukan penelitian di pesisir Sumatera dan menemukan peralatan di atas bersama Kjokkenmoddinger. Pebble culture merupakan pengaruh dari kebudayaan Bacson Hoabinh (Indo china) yang masuk ke Indonesia melalui jalur barat yaitu Malaka dan Sumatera.
Bone culture, penelitian di lakukan oleh Callenfels 1928-1931 di Sampung Ponorogo. Peralatan tersebut ditemukan bersama dengan Abris sous roche di dalam gua. Di gua-gua juga ditemukan fosil dari jenis manusia Papua Melanesoide, yang merupakan nenek moyang orang Papua (Irian). Peralatan dan fosil sejenis di temukan pula di Besuki dan Bojonegoro.  


Neolhitikum (batu muda)
Ciri jaman batu muda adalah pemakaian peralatan dari batu yang telah diasah halus karena telah mengenal tehnik mengasah. Pada jaman ini terjadi revolusi kehidupan yaitu perubahan dari kehidupan nomad dengan food gathering menjadi menetap dengan food producing.
Cara hidup pada jaman neolithikum adalah hidup menetap, bertempat tinggal dekat sumber air, food producing (menghasilkan makanan dari bercocok tanam dan berternak walaupun berburu masih dilakukan terutama pada waktu senggang), membuat rumah bertonggak dengan atap dari daun-daunan membuat kain dari kulit kayu (ditemukan pemukul kulit kayu), membuat perahu atau rakit, membuat perhiasan dari batu-batu kecil indah.
Menurut penelitian mereka berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Melayu polinesia. Pada akhir jaman ini telah dikenal kepercayaan dalam bentuk Animisme (kepercayaan tentang adanya arwah nenek moyang yang memiliki kekuatan gaib) dan dinamisme (kepercayaan terhadap benda-benda yang dianggap memilki kekuatan gaib). Mereka percaya bahwa setelah mati ada kehidupan lain sehingga di adakanlah berbagai upacara terutama bagi kepala sukunya. Mayat yang dikubur disertai dengan berbagai macam benda sebagai bekal di alam lain, dan sebagai peringatan maka di bangunlah berbagai monument (bangunan) yang rutin diberi sajian agar arwah yang meninggal (leluhur) melindungi dan memberikan kesejahteraan bagi sukunya.
Pada jaman ini pembuatan gerabah memegang peranan penting sebagai wadah atau tempat dalam kehidupan sehari-hari. Adapula gerabah yang digunakan untuk keperluan upacara dan gerabah yang dibuat dengan indah baik bentuk maupun hiasannya.
Berdasarkan peralatannya kebudayaan jaman neolitihkum di bedakan menjadi kebudayaan kapak persegi dan kapak lonjong berasal dari Heine Geldern berdasarkan kepada penampang yang berbentuk persegi panjang dan lonjong.
 

Kebudayaan kapak persegi
Kebudayaan kapak persegi berasal dari Asia daratan yang menyebar ke Indonesia melalui jalur barat melalui Malaka, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusatenggara. Terdapat kapak persegi ukuran kecil (di gunakan sebagai fungsi kapak) dan yang ukuran besar (digunakan sebagai fungsi beliung atau cangkul). Dibeberapa daerah ditemukan bekas-bekas pusat kerajinan kapak persegi seperti di Lahat (Palembang), Bogor, Sukabumi, Purwakarta, Tasik (Jabar), Pacitan (Jatim). Kebudayaan kapak persegi di dukung oleh manusia Proto Melayu (Melayu Tua) yang migrasi ke Indonesia menggunakan perahu bercadik sekitar 2000 SM (Sebelum Masehi). Yang merupakan keturunan ras Melayu Tua adalah suku Sasak , Toraja, Batak dan Dayak . Di Minahasa (Sulut) di temukan kapak bahu, sejenis kapak persegi di beri leher untuk pegangannya. 


Kebudayaan kapak lonjong
Ukuran kapak lonjong ada yang besar (walzenbeli) dan kecil (kinbeli), sering di sebut dengan istilah Neolith Papua karena penyebarannya terbatas di Irian saja oleh bangsa Papua Melaneside. Dari peralatan yang ditemukan, baik kapak persegi maupun kapak lonjong di buat dari batu api (chalcedon), terdapat pula kapak yang tidak terdapat tanda-tanda bekas dipakai dalam bentuk yang indah (sebagai alat berharga, lambang kebesaran atau jimat).
 

JAMAN LOGAM
Jaman perunggu
Kebudayaan perunggu di Asia Tenggara merupakan pengaruh dari kebudayaan Dongson, yang berkembang di Vietnam. Geldern berpendapat bahwa kebudayaan Dongson berkembang paling muda sekitar 300 SM (sebelum Masehi). Pendukung kebudayaan perunggu adalah bangsa Deuteuro Melayu (Melayu Muda) yang migrasi ke Indonesia sambil membawa kebudayaan Dongson. Keturunannya adalah Jawa, Bali, Bugis, Madura, dll. Bahkan ditemukan beberapa bukti bahwa telah terjadi pembaruan antara Melayu Monggoloide (Proto melayu dengan Deuteuro melayu) dan Papua Melaneside.
Ciri jaman perunggu adalah pemakaian peralatan dari logam yang dikembangkan melalui tehnik bivalve (rangkap) dan a cire perdue (cetak lilin). Namun bukanlah berarti setelah itu peralatan dari batu dan gerabah di tinggalkan karena masih terus dipergunakan bahkan sampai sekarang .
Ciri kehidupan pada jaman perunggu adalah telah terbentuk perkampungan yang teratur dipimpin oleh kepala suku atau ketua adat, tinggal di dalam rumah bertiang yang besar yang bagian bawahnya dijadikan tempat ternak, bertani (berladang dan bersawah) dengan sistem irigasi sehingga pengairan tidak selalu bergantung kepada hujan. 

Telah terdapat pembagian kerja berdasarkan keahlian sehingga munculah kelompok undagi (tukang yang ahli membuat peralatan logam). Mereka telah menguasai ilmu Astronomi (untuk kepentingan pelayaran dan pertanian ) dan membuat perahu bercadik.  
Beberapa hasil budaya pada jaman perunggu adalah kapak corong (kapak sepatu), candrasa (kapak corong yang salah satu sisinya memanjang), terdapat candrasa dan kapak corong yang indah dan tidak ada tanda-tanda bekas di gunakan. Nekara (seperti dandang tertulungkup), moko (nekara yang lebih kecil), terdapat berbagai perhiasan seperti garis lurus , piln-pilin, binatang, rumah, perahu, lukisan orang berburu, tari dan lukisan orang China (monggol).
Selain itu mereka membuat bejana perunggu (berbentuk seperti periuk yang gepeng) dengan hiasan indah (dalam bentuk garis dan burung merak), arca perunggu (ditemukan di Bangkinag – Sulsel , Bogor - Jabar, dan Riau ) serta perhiasan perunggu seperti gelang, kalung, anting, dan cincin.
 

Kebudayaan megalithikum (batu besar)
Di sebut kebudayaan batu besar karena pada umumnya menghasilkan kebudayaan dalam bentuk monument yang terbuat dari batu berukuran besar. Kebudayaan ini muncul pada akhir jaman neolhitikum, tetapi perkembangannya justru terjadi pada jaman perunggu (kebudayaan Dongson).  

Hasil-hasil dari kebudayaan megalithikum memberikan petunjuk kepada kita mengenal perkembangan kepercayaan, terutama pemujaan terhadap arwah nenek moyang, yang memang telah mulai nampak pada akhir jaman neolithikum.  
Berikut ini adalah hasil-hasil budaya megalhitikum : Menhir atau tugu batu yang terbuat dari batu tunggal, yang berfungsi sebagai tanda peringatan dan melambangkan arwah nenek moyang sehingga menjadi benda pemujaan. Menhir banyak di temukan di Pasemah, Lahat, Sungai Talang Koto (Sumatera), Nagada (Flores).  
Dolmen atau meja batu tempat sesaji, ada yang di sangga oleh menhir dan ada pula yang digunakan sebagai penutup keranda atau sarchopagus, yang demikian dinamakan dengan pandhusa. Sarcophagus (keranda) adalah peti mati tempat penyimpanan mayat yang berbentuk lesung terbuat dari batu utuh yang diberi tutup. Di Bali di temukan keranda yang berisi tulang belulang manusia, barang perunggu serta manik-manik.
Kubur batu, peti mayat yang di pendam di dalam tanah berbentuk persegi panjang dengan ke empat sisinya di buat dari lempengan – lempengan batu. Ada pula yang di sebut waruga, yaitu kubur batu yang berbentuk bulat. Kubur batu banyak di temukan di Kuningan (Jabar), Pasemah (Sumatera), Wonosari (Yogja) dan Cepu (Jateng).

Punden berundak, bangunan pemujaan terhadap roh nenek moyang yang berupa susunan batu bertingkat, banyak ditemukan di Banten, Garut, Kuningan, Sukabumi (Jabar). Dalam perkembangan selanjutnya, punden berundak merupakan dasar dalam pembuatan candi, bangunan keagamaan maupun istana.

Selain itu di temukan pula hasil budaya megalithikum dalam bentuk patung atau arca manusia yang menggambarkan wujud nenek moyang atau arca binatang. Patung banyak di temukan di daerah Pasemah (Sumatera), sementara di di lembah Bada (Sulteng) ditemukan patung manusia (laki- laki dan perempuan).