A. TEORI DAN METODOLOGI
Teori adalah bahasan mengenai penyusunan konsep-konsep dan model-model dan pembuatan explanasi-explanasi umum tatapi rinci mengenai tipe peristiwa-peristiwa dan proses-proses tertentu yang dapat digunakan untuk menjelaskan sebab-sebab dari peristiwa-peristiwa dan proses-proses sebenarnya. Metodologi membahas kerangka-kerangka pemikiran tentang konsep-konsep, kategori-kategori, model-model, hipotesis, dan prosedur-prosedur umum yang dipakai dalam penyusunan teori dan testing.
Metodologi sejarah atau pendekatan sejarah adalah metode atau cara yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan penelitian peristiwa sejarah dan permasalahannya. Dengan kata lain, metode penelitian sejarah adalah instrumen untuk merekonstruksi peristiwa sejarah (history as past actuality) menjadi sejarah sebagai kisah (history as written). Sejarah sosial-ekonomi merupakan salah satu metodologi dalam peneliatian sejarah. Melalui pendekatan sejarah sosial-ekonomi, dimungkinkan ilmu sejarah memperoleh pemahaman yang lebih utuh mengenai makna-makna peristiwa sejarah.
Dalam membahas masalah tanam paksa yang pernah diterapkan oleh belanda di Indonesia, seorang sejarhwan harus bisa mengkajinya dari aspek ekonominya, khusunya andil tanam paksa bagi pemulihan perekonomian Belanda pasca bubarnya VOC dan dari pendekatan sosial mengenai keadaan masyarakat Indonesia saat terjadinya tanam paksa. Dengan begitu, pembahasan dari tanam paksa akan memperoleh gambaran yang utuh.
Metodologi dalam studi sejarah menuntut penyesuaian yang akan terwujud sebagai perbaikan kerangka konseptual dan teoretis sebagai alat analitis. Hal ini dapat dilakukan dengan meminjam berbagai alat analitis dari ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi, politikologi, dan lain-lain. Ilmu sejarah bersifat empiris, oleh karena itu sangat penting untuk berpangkal pada fakta-fakta yang tersaring dari sumber sejarah, sedangkan teori dan konsep hanya merupakan alat-alat untuk mempermudah analisis dan sintesis sejarah. Sejarah sosial banyak mengkaji tentang masyarakat secara total atau global.
Tema-tema seperti sejarah sebuah kelas sosial, terutama sejarah kaum buruh menjadi tema yang penting dalam sejarah sosial. Tema lain yang dapat digarap oleh sejarah sosial ialah tentang peristiwa-peristiwa sejarah. Tulisan-tulisan Mousnier tentang pemberontakan petani adalah salah satu contohnya. Demikian juga tulisan Sartono Kartodirdjo yang berjudul Peasants’ Revolt of Banten in 1888 barangkali merupakan sejarah sosial pertama yang ditulis dalam historiografi Indonesia. Sejarah sosial juga dapat mengambil fakta sosial sebagai bahan kajian. Tema seperti kemiskinan, perbanditan, kekerasan, kriminalitas dapat menjadi sebuah sejarah. Demikian juga sebaliknya kesalehan, kekesatriaan, pertumbuhan penduduk, migrasi, urbanisasi dan sebagainya.
Demikianlah misalnya karya Peter Laslett, Family Life and The Illicit Love in Earlier Generation yang mengungkap mengenai lahirnya anak-anak haram pada masyarakat Inggris pada zaman Victorian yang terkenal dengan ketertiban moralnya. Sejarah ekonomi adalalah sejarah yang mempelajari manusia sebagai pencari dan pembelanja. Jadi sejarah ekonomi bukanlah interpretasi ekonomis terhadap sejarah, yang termasuk dalam sejarah pada umumnya. Sejarah ekonomi haruslah spesifik, sejarah dari satuan yang kongkret dan khusus. Sejarah ekonomi pada umumnya terutama dalam konteks ekonomi industrial. Selain itu juga mengenai sejarah ekonomi pedesaan dan ekonomi petani.
B. HAKIKAT FAKTA
1.Definisi
Menurut definisi yang dimaksud dengan fakta adalah :
•Sesuatu yang telah dilakukan.
•Obselet : yang dikerjakan, yang dibuat, penampilan, tindakan,
•Sesuatu yang benar-benar ada (kualitas atau hubungan kenyataan yang mana dinyatakan dalam pengalaman atau barangkali disimpulkan dengan pasti, khususnya suatu kejadian dalam waktu dan tempat).
•Suatu penegasan, pernyataan, atau informasi yang berarti mengandung sesuatu yang mempunyai kenyataan obyektif.
Menurut The New Lexicon, fakta ialah “sesuatu yang diketahui benarnya, suatu pernyataan tentang sesuatu yang telah terjadi”. Tentu saja tidak semua arti definisi di atas relevan. Umumnya fakta-fakta erat hubungannya dengan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang apa, siapa, kapan, dan dimana.
2.Arti fakta bagi para sejarawan
Sesungguhnya pengertian tentang fakta itu tidak sesederhana yang dicontohkan diatas. Diantara pakar-pakar sejarah dan atau filsafat sejarah sendiri terdapat berbagai pendapat atau tafsiran tentang fakta itu. Misalnya dari Patrick Gardiner, E.H. Carr, dan Carl L. Becker.
Patrick Gardiner menunjukkan bahwa fakta-fakta itu berarti : apa yang benar-benar telah terjadi (“invasi Napoleon ke rusia adalah sebuah fakta;” “cerita sejarah ini adalah benar-benar berdasarkan fakta”); evidensi sebagai bukti baru yang mungkin dapat menambah pengetahuan kita tentang revolusi Perancis atau bukti-bukti penting dalam sidang pengadian (“ia telah menemukan suatu fakta baru tentang revolusi perancis”; “sekarang anda memiliki semua fakta untuk perkara itu”): mempertanyakan hakikat kebenaran (truth), misalnya tentang suatu cerita tentang apa yang benar-benar terjadi pada suatu ketika tertentu atau tafsiaran seseorang tentang fakta fakta (“apakah anda yakin tentang fakta-fakta anda?” : ” jadi itulah tafsiran anda tentang fakta-fakta! ” ) ; kunci atau petunjuk (plus cluess) bagi seseorang detektif yang sedang melakukan penyelidikan (misalnya berupa bekas darah, abu rokok di asbak disebut) (Gardiner, 1961: 73 - 74)
Menurut E. H. Carr, sejarahwan memperoleh fakta fakta itu dari dokumen, inskripsi, dan dari ilmu-ilmu bantu sejarah lain nya seperti arkeologi, epigrepi, nomismadik, kronologi (Carr, 1985: 9, 11). Meskipun para sejarawan sepakat untuk sejumlah fakta-fakta dasar tertentu, tetapi adalah sejarawan sendiri sebenarnya yang melakukan seleksi terhadap apa yang dapat dijadikannya fakta itu.
Hubungan antara sejarahwan dengan fakta-fakta itu setaraf atau menurut istilah Carr sendiri “memberi dan menerima” (Carr, 1985: 29) mengenai fakta dan penafsiran (interpretasi), sejarahwan terlibat terus menerus dalam suatu proses mengolah fakta-fakta nya dalam interpretasi nya atau interpretasi dalam hubungan dengan fakta-fakta nya. Hubungan timbal balik antara sejarahwan dengan fakta-faktanya itu ibarat hubungan antara masa sekarang dan masa lalu.
C. HAKIKAT KONSEP
Pengertian konsep didefinisikan kamus Webster’s sebagai sesuatu yang dibentuk dalam pikiran, ide, pendapat seperti sebuah filsafat yaitu suatu ide umum atau abstrak sebuah opini universal.
1.Hasil dari suatu kegiatan mental membuat generalisasi
2.Konstruksi teoritis, logika yaitu suatu ide yang mencakup atribut-atribut etensial dari suatu kelas atau setesis-setesis logis, suatu istilah universal atau pernyataan.
Berbeda dengan fakta, konsep-konsep pada hakikatnya adalah definisi konsep-konsep mengandung karakteristik yang umum dari suatu kelompok pengalaman. Tidak seperti fakta-fakta yang merujuk kepada suatu objek peristiwa atau indipidu tunggal maka konsep-konsep mengandung beberapa hal yang umum dari sejumlah objek, peristiwa, atau individu-individu (fraenkel, 1980: 58)
D. JENIS-JENIS KONSEP
Fraenkel mengklasifikasi jenis-jenis konsep atas konjungtif, disjungtif, relational, deskriftif, dan valuatif.
1.Konsep konjungtif
Bersifat menghubungkan dapat didefinisikan oleh keberadaan dua atau lebih atribut yang semuanya harus ada (fraenkel: 58. ). konsep suami misalnya, ia harus laki-laki menikah dengan sah dan mempunyai istri.
2.Konsep disjungtif
Biasanya sebagai alternatif, yang ini atau yang itu konsep arsip atributnya dapat berupa gedung tempat penyimpanan dokumen dokumen dan catatan-catatan.
3.Konsep relasional
Mengandung suatu hubungan khusus atau antara dua atribut atau lebih dan dinyatakan secara numerik (angka) sebagai suatu rasio atau suatu produk.
4.Konsep deskriptif
Terdapat sejumlah konsep yang pada dasar nya netral, dalam arti gambaran atau bayangan (image) yang terkandung dalam nya hanyalah memerikan karakteristik-karakteristik tertentu dari benda-benda atau hal-hal yang mempunyai persamaan, tanpa menyarankan prefensi kepada karakteristik-karakteristik yang di katagorikan.
5.Konsep valuatif
Konsep-konsep seperti baik, buruk, benar, salah, cantik, jelek misalnya, mengandung suatu evaluasi yang memberi kesan setuju atau tidak setuju, suatu perasaan positif atau negatif.
6.Campuran antara konsep deskriptif dan konsep evaluatif paling banyak di temui.
Konsep-konsep ini tidak hanya memerikan karakteristik-karakteristik yang di miliki bersama, tapi juga memuat suatu sikap dan perasaan terhadap ciri-ciri itu. Sebagai contoh misal nya konsap kekerasan pembunuh, sadis; konsepisme seperti komunisme, dan demokrasi (Fraenkel, 1980: 59) acapkali karena pengalaman sejarah yang berbeda-beda, sikap Negara-negara atau bangsa-bangsa terhadap konsep-konsep tertentu tidak sama sehingga ada yang bersikap positif, negative, atau netral.
E. ATRIBUT KONSEP
Pakar pendidikan Jerome kagan sebagaimana yang dikutip oleh Fraenkel menyarankan ada empat sifat (kualitas) penting yang dapat diterapkan pada semua konsep, tanpa memperhatikan arti dan karakteristik-karakteristik yang sama yang dikandung oleh konsep-konsep itu. Konsep itu adalah tingkat abstraksi, kompleksitas, diferensiasi, dan sentralisasi dari dimensi-dimensinya.
1.Tingkat abstraksi.
Konsep-konsep itu beragam dalam arti keabstrakan dari karakteristik-karakteristiknya. Maka konsep ini terbagi menjadi dua, yaitu abstraksi yang bertingkat rendah dan abstraksi yang bertingkat lebih tinggi.
2.Kompleksitas.
Jumlah atribut yang diperlukan untuk mendefinisikan konsep-konsep itu turut membedakan tingkat kesederhanaan dan kerumitan konsep-konsep. Semakin banyak data atribut yang dipakai, semakin dianggap kompleks konsep itu.
3.Diferensiasi.
Konsep-konsep juga berbeda dalam tingkat kemempuannya sebagai pembeda. Ada sejumlah konsep yang mempunyai karakteristik dasar umum yang sama yang diwakili konsep-konsep tersebut. Konsep-konsep ini dapat juga menerima bentuk-bentuk ragam lain yang sedikit berbeda dari ide yang dikandung oleh konsep itu tetapi hubungannya tetap ada.
4.Sentralitas dari dimensi-dimensi.
Arti dari beberapa konsep diambil dari satu atau dua kata kunci atau atribut-atribut terpenting yang menunjukkan kepada bentuk-bentuk sentral dari ide yang dikandung oleh konsep itu. Misalnya konsep mobilitas sosial artinya gerak orang-orang dari satu kelompok sosial ke kelompok sosial yang lain. Dikenal konsep mobilitas vertikal yaitu perubahan dalam status sosial dan konsep horizontal yaitu perubahan dalam afiliasi politik atau agama.
F. PENDEKATAN YANG DIGUNAKAN DALAM SEJARAH SOSIAL EKONOMI
Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam sejarah sosial ekonomi memanfaatkan teori dan konsep ilmu-ilmu sosial. Dengan penggunaan ilmu-ilmu sosial, sejarawan mempunyai kemampuan menerangkan yang lebih jelas, sekalipun kadang-kadang harus terikat pada model teoritisnya. Keterkaitan ini dapat mempunyai akibat pada rekonstruksi yang tidak lengkap, sebab harus menuruti logika dan seleksi sebuah model eksplisit.
Peranan ilmu sosial dalam penyeleksian data dan fakta, terutama teori-teori dan konsep-konsepnya sangat penting. Kedua jenis alat analitis itu memudahkan kita mengatur seluruh substansi penulisan naratif dengan segala unsur-unsurnya seperti fakta, subfakta, struktur dan proses, faktor-faktor, dan lain lain. Tanpa kerangka teoritis dan konseptual tidak ada butir-butir referensi untuk membentuk naratif, eksplanasi dan argumentasi.
Yang penting dari implikasi metodologis ini ialah bahwa pengungkapan dimensi-dimensi memerlukan pendekatan yang lebih kompleks yakni pendekatan multidimensional. Sejarawan yang akan menerapkan metodologi ini perlu menguasai berbagai alat analitis yang dipinjam dari ilmu sosial.
G. PENDEKATAN (APPROACH)
Sebagai permasalahan inti dari metodologi dalam ilmu sejarah dapat disebut masalah pendekatan. Penggambaran kita mengenai suatu peristiwa sangat bergantung pada pendekatan, ialah dari segi mana kita memandangnya, dimensi mana yang diperhatikan. Hasil pelukisannya akan sangat ditentukan oleh pendekatan yang dipakai. Pendekatan sosiologi misalnya meneropong segi-segi sosial. Pendekatan antropologis mengungkapkan nilai-nilai yang mendasari perilaku sejarah, status dan gaya hidup. Pendekatan politikologis menyoroti strruktur kekuasaan, jenis kepemimpinan. Dalam menghadapi gejala historis yang serba kompleks, setiap penggambaran atau deskripsi menuntut adanya pendekatan yang memungkinkan penyaringan data yang diperlukan. Suatu seleksi akan dipermudah dengan adanya konsep-konsep yang berfungsi sebagai kriteria.
Sejarah bersifat empiris, maka sangat primer pentingnya untuk berpangkal pada fakta-fakta yang tersaring dari sumber sejarah, sedang teori dan konsep hanya merupakan alat-alat untuk mempermudah analaisis dan sintesis sejarah. apabila filsafat disini diartikan berpikir berpikir tentang pikiran kita maka setiap metodologi adalah filsafat karena dalam menerapkan metodologi, kita terus menerus mengecek semua langkah dalam pekerjaan dan pemikiran kita.
1. Pendekatan Sistem dan Perspektif Historis
Pendekatan sistem memusatkan perhatian pada kesatuan yang mencakup unsur-unsur serta hubungan pengaruh-mempengaruhi. Ditangkapnya proses interaksi antara unsure terjadi suatu waktu dan dalam situasi tertentu. Dapat dikatan bahwa disini ada pengambilan situasi menurut momentum tertentu, maka dengan sendirinya orang mengabaikan kenyataan bahwa situasi dewasa ini atau pada saat dikaji itu tidak lain merupakan hasil perkembangannya di masa lampau. Pelacakan bagaimana terjadinya atau jalannya perkembangan di masa lampau dilakukan dengan pendekatan diakronisnya atau mirip dengan “penampang bujur” pada suatu pohon. Dengan demikian akan tampak bahwa situasi sekarang adalah hasil atau produk dari pertumbuhan atau perkembangan sejarah.
-Definisi sejarah
Sejak umat manusia mempunyai kemampuan berbahasa banyak karangan-karangan tentang pengalamannya dituangkan dalam bahasa untuk dapat diketahui pihak lain dan khususnya generasi muda. Tradisi lisan adalah media utama untuk meneruskan pengalaman individu dan kolektif. Baru setelah peradaban suatu bangsa mengenai tulisan, tradisi tersebut dapat dibakukan. Tradisi, lembaga-lembaga tradisional, dan sejarah berfungsi untuk menyimpan dan meneruskan pengalaman kolektif dari satu generasi ke generasi berikutnya dan dengan demikian, melaksanakan proses pembudayaan, sosialisasi, atau pendidikan secara kontinu. Dari penjelasan diatas maka sejarah dapat didefinisikan sebagai pelbagai bentuk penggambaran pengalaman kolektif di masa lampau.
2. Pendekatan Multidimensional
Pendekatan multidimensional yaitu dengan menggunakan konsep-konsep dari disiplin sendiri. Pendekatan sosiologis, umpamanya melihat suatu gejala dari aspek-aspek sosial yang semuanya mencakup dimensi sosial kelakuan manusia.dengan bantuan konsep-konsep sosiologi lebih mudah melakukan penyaringan sicifact mana yang perlu diekstrapolasikan. Dengan demikian, secara menyeluruh dimensi sosial gejala sejarah terungkapkan.
3. Pendekatan Ilmu Sosial
a. Ilmu-ilmu Sosial
Dipandang dari titik pendirian sejarah konvensional perubahan metodologi tersebut sangat revolusioner. Dengan metodologi baru itu ilmu sejarah tergeser kea rah ilmu sosial dan dengan sendirinya ke arah ilmu alam. ini tidak berarti bahwa ilmu sejarah terus mencoba menyusun hukum-hukum atau dalil-dalil sejarah. Posisi sejarah yang dibuat kaum neo-Kantian adalah bahwa dalam sistem besar terdapat 4 komponen, ialah kultur, biologi, ekologi, dan Personality (pribadi) yang dengan fungsinya bersama-bersama mendukung fungsi umum. Disini diperlukan pendekatan interdisipliner untuk menganalisis terjalinnya fungsi berbagai komponen itu.
Dalam system kecil terdapat 3 unsur ialah economy, society, dan polity, sedang sistem itu sendiri merangkum kultur sebagai sistem ketiga komponen itu pada hakikatnya sangat ditentukan oleh nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Disini terdapat keuntungan pendekatan ilmu sosial, ialah menyoroti multiperspektivitas atau multidimensionalitas. Seballiknya bentuk naratif hanya mampu memberi gambaran datar sehingga mudah terjebak dalam determinisme.
b. Sejarah Struktural
Pada umumnya segi prosesual yang menjadi fokus perhatian sejarawan dengan pendekatan ilmu sosial dapatlah digarap aspek strukturalnya. Selanjutnya dipahami bahwa banyak aspek prosesual yang hanya dapat dimengerti apabila dikaitkan dengan aspek strukturalnya, bahkan dapat dikatakan pula bahwa proses hanya dapat berjalan dalam kerangka struktural. Perlu ditambahkan disini bahwa bagaimanapun menariknya sejarah structural, tetapi sejarah bukan sejarah apabila tidak memuat cerita tentang bagaiman terjadinya. Maka campuran antara prosesual dan structural adalah yang paling memadai.
c. Perbedaan antara Ilmu Eksakta (alam) dan Ilmu Kemanusiaan (Humaniora)
Pada akhir abad ke-19di Jerman timbul reaksi dari golongan yang terkenal sebagai akum neo-Kantianis yang dipelopori oleh oleh Rickert, Windelband, dan Dilthey. Mereka berpendapat bahwa dalam ilmu ada dikhotomi, yaitu ilmu alam dan ilmu kemanusiaan. Kalau dalam ilmu alam ada penemuan dan perumusan dalil atau hukum sehingga dengan alat Bantu itu dapat dibuat proyeksi ke masa depan, maka dalam ilmu kemanusiaan tujuan utamanya ialah membuat gambaran kejadian-kejadian dalam keunikan secara rinci. Oleh karena perbedaan tugas itu maka ilmu alam mampu membuat generalisasi, sedang ilmu kemanusiaan justru memperthatikan yang khusus.
Kedudukan ilmu sosial mengambil tempat di tengahnya. Ternyata pengkajian tentang tindakan dan kelakuan manusia menunjukkan perhatian kepada keteraturan atau keajekan. Jelaslah bahwa ilmu sosial lebih dekat pada ilmu alam daripada ilmu kemanusiaan. Rapproachemen (proses saling mendekati)antara ilmu sosial dan sejarah terutama terwujud pada perubahan metodologi. Pembaharuan metodologi tahap pertama terjadi karena pengaruh ilmu diplomatic sejak Mabillon, sedangkan yang tahap kedua terjadi karena pengaruh ilmu sosial. Implikasi besar dari perkembangan itu ialah bahwa setiap penelitian memerlukan kerangka referensi yang bulat, yaitu memuat alat-alat analitis yang akan meningkatkan kemampuan untuk menggarap data. Disini menjadi jelas bahwa pengkajian sejarah memerlukan teori dan metodologi.