Pemberian Temporary Protection Visa (TPV), atau Visa perlindungan Sementara oleh Pemerintah Australia kepada 42 orang warga Papua Barat, telah menimbulkan reaksi yang sangat kuat dari Indonesia.
Bila menengok sejarah hubungan Indonesia-Australia dari tahun 1945 sampai sekarang, akan terlihat, bahwa sejak awal pembentukan Republik Indonesia, Pemerintah Australia menunjukkan sikap yang sangat tidak bersahabat dengan Republik Indonesia.
Bukanlah rahasia, bahwa invasi TNI ke Timor Timur tahun 1976 –sehari setelah Presiden AS Gerald Ford dan penasihatnya, Henry Kissinger meninggalkan Jakarta- adalah atas persetujuan AS dan Australia, yang mengkhawatirkan Timor Timur yang merdeka akan masuk ke kubu komunis.
Setelah runtuhnya imperium Uni-sovyet, maka negara-negara barat melihat tidak ada lagi kepentingan mempertahankan diktator-diktator boneka mereka yang anti komunis. Negara-negara barat mulai melancarkan isu pelanggaran HAM untuk memojokkan para diktator yang selama perang dingin melawan blok komunis, sangat berguna bagi kepentingan blok kapitalis. Singkatnya, pendukung setia Amerika Serikat, Marcos dan Suharto, berhasil digulingkan oleh rakyatnya. Namun kini, isu pelanggaran HAM masih terus digulirkan, dengan kepentingan berbeda: Amerika Serikat tetap memerlukan “common enemy”, musuh bersama untuk konsumsi politik dalam negeri mereka, Australia tidak menginginkan tetangganya yang kuat, dan Belanda masih menyimpan dendam sejarah atas “kehilangan“ koloni mereka yang kaya.
Yang hingga kini relatif paling sering melancarkan “serangan” terhadap Indonesia sehubungan dengan pelanggaran HAM selain Amerika Serikat adalah Australia, Belanda dan Jerman. Bahkan kini beberapa anggota Parlemen Amerika Serikat dan beberapa institusi gereja di Jerman telah menyatakan sikapnya secara terang-terangan dan sangat gamblang, bahwa mereka mendukung pemisahan Papua dari NKRI.
Pemerintah AS, Australia dan Belanda selalu bermuka dua, di satu sisi, secara resmi mereka mengeluarkan pernyataan mendukung integritas RI atas wilayahnya, namun -baik langsung maupun tidak langsung- ikut mendanai kegiatan-kegiatan yang merongrong kedaulatan RI, termasuk dalam pembentukan opini negatif yang dilakukan oleh berbagai LSM dan Institusi di negara-negara tersebut.
Kasus terbaru yang menunjukkan Pemerintah Belanda bermuka dua dalam masalah kedaulatan wilayah NKRI adalah penugasan dan pendanaan kegiatan Prof. Dr. Pieter Drooglever, seorang pakar sejarah di Belanda, untuk membongkar kembali Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) di Papua tahun 1969. Hal ini diungkapkan secara terus terang oleh mantan Menlu Belanda J. Van Aartsen, karena Menlu yang sekarang Ben Bot -dalam posisi terjepit- tidak mau mengakui, bahwa penelitian yang dilakukan oleh Drooglever adalah atas penugasan dan pendanaan Pemerintah Belanda.
Setelah melakukan penelitian lebih dari 5 tahun (!), termasuk mendatangkan orang Papua ke Belanda untuk diwawancarai, pada bulan November 2005 Drooglever meluncurkan buku setebal 740 halaman yang berisi hasil penelitiannya mengenai “Act of Free Choice.” Dengan satu kalimat Drooglever menyebut bahwa “Hasil Pepera adalah suatu kecurangan.” PEPERA tersebut telah berlangsung dengan persetujuan dan di bawah pengawasan PBB, dan kemudian hasilnya juga disahkan oleh PBB. Buku ini sekarang menjadi referensi bagi orang-orang Papua Barat yang ingin memisahkan diri dari RI.
Perlu diingat, bahwa dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda tahun 1949, Irian Barat tidak termasuk dalam Republik Indonesia Serikat, yang memperoleh “pelimpahan kedaulatan” (soevereiniteitsoverdracht) dari Belanda pada 27 Desember 1949. Oleh karena itu patut dicurigai, bahwa langkah Belanda yang menugaskan dan mendanai kegiatan Prof. Drooglever ini, sebagai suatu usaha untuk memisahkan Papua Barat dari NKRI. Dengan menugaskan dan mendanai kegiatan ini saja sudah dapat dikatakan sebagai tindakan yang sangat tidak bersahabat.
Juga perlu dicatat, bahwa hingga saat ini Pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Bagi Pemerintah Belanda, kemerdekaan RI adalah 27 Desember 1949, yaitu pada waktu “penyerahan kedaulatan” (soevereniteitsoverdracht) dari Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS), yang dianggap sebagai kelanjutan dari Pemerintah India Belanda (Nederlands Indië). Dan seperti disebut di atas, Papua tidak termasuk dalam RIS.
Latar belakang sejarah
Tahun 1945, dalam upaya Belanda untuk kembali menguasai Indonesia sebagai jajahannya, Belanda dibantu oleh 3 divisi tentara Inggris dan 2 divisi tentara Australia, yang –sesuai dengan Civil Affairs Agreement antara Pemerintah Belanda dan Pemerintah Inggris- “membersihkan” kekuatan bersenjata Republik Indonesia, untuk kemudian “diserahkan” kepada Netherlands Indies civil Administration (NICA).
Ketika tentara Jepang menyerbu ke Asia tenggara, dan memulai penyerbuan ke Pulau Jawa tanggal 1 Maret 1942, banyak orang-orang Belanda yang segera melarikan diri ke Australia. Sejumlah pimpinan pemerintahan sipil dan militer yang lari ke Australia tersebut antara lain, Dr. Hubertus Johannes van Mook, mantan Letnan Gubernur Jenderar Hindia Belanda Timur, Dr. Charles Olke van der Plas, mantan Gubernur Jawa Timur, dan Simon Hendrik Spoor. Tahun 1946 Spoor, menggantikan Letnan Jenderal van Oyen menjadi Panglima Tertinggi Tentara Belanda di Indonesia.
Tahun 1942 jumlah tentara Belanda yang berhasil melarikan diri ke Australia hanya sekitar 1000 orang. Mereka kemudian dapat merekrut orang dari Suriname dan Curacao untuk menjadi tentara, sehingga saat Jepang menyerah pada bulan Agustus 1945, jumlah tentara Belanda yang berada di Australia sudah mencapai sekitar 5000 orang –termasuk orang Indonesia yang menjadi serdadu KNIL seperti Raden Abdul Kadir Wijoyoatmojo.
Pada bulan Agustus 1943 di Quebec, Kanada, dicapai kesepakatan antara Presiden Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris Churchill, untuk membentuk South East Asia Command (SEAC –Komando Asia Tenggara), dan mulai tanggal 16 November, SEAC berada di bawah pimpinan Vice Admiral Lord Louis Mountbatten. Wewenang SEAC meliputi Sri Lanka, sebagian Assam, Birma, Thailand, Sumatera, dan beberapa pulau kecil di Lautan India.
Pulau-pulau lain dari wilayah bekas India Belanda –Kalimantan, Sulawesi, Papua, dll.- berada di bawah wewenang Letnan Jenderal Douglas MacArthur, Supreme Commander South West Pacific Area Command – SWPAC (Panglima Tertinggi Tentara Sekutu Komando Wilayah Pasifik Baratdaya).
Semula, Belanda mengadakan perjanjian CAA dengan Amerika Serikat, yang ditandatangani pada 10 Desember 1944 di pulau Tacloban, Filipina (2). Jenderal MacArthur mewakili Amerika dan van Mook mewakili Belanda.
Pada 15 Agustus 1945 dilakukan penyerahan wewenang atas wilayah bekas India Belanda dari Letnan Jenderal Douglas MacArthur, panglima South West Pacific Area Command (Komando Wilayah Pasifik Baratdaya) kepada Vice Admiral Lord Louis Mountbatten, Panglima Tertinggi South East Asia Command (Komando Asia Tenggara). Pada hari itu juga, Letnan Gubernur Jenderal van Mook, bersama orang-orang Belanda yang ada di Australia mengadakan rapat dan bersiap-siap untuk segera berangkat ke Indonesia.
Berita mengenai proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, tentu sangat mengejutkan Pemerintah Belanda –termasuk van Mook dan kawan-kawan yang mendengar melalui radio di Australia.
Setelah penyerahan wewenang dari Panglima Tertinggi South West Pacific Area Command atas Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, serta daerah-daerah lain yang termasuk wilayah bekas India Belanda kepada South East Asia Command (SEAC) di bawah Lord Mountbatten, Pemerintah Belanda melakukan serangkaian pertemuan dan lobi dengan Pemerintah Inggris. Pada 24 Agustus 1945, di Chequers dekat London, Belanda dan Inggris menandatangani Civil Affairs Agreement (CAA) yang isinya adalah:
“Nota tanggal 24 Agustus 1945
Musyawarah yang berlangsung antara perwakilan Belanda dan Inggris mengenai asas-asas yang perlu diperhatikan bila saja timbul persoalan yang berhubungan dengan pemerintahan dan peradilan sipil, yang berlangsung di wilayah Netherlands Indies (India Belanda) yang telah dibebaskan dan ada di bawah perintah Panglima Tertinggi Sekutu, Komando Asia Tenggara, telah mencapai persetujuan mengenai persyaratan sebagaimana dalam memorandum ini.
Asas-asas yang terdapat dalam memorandum ini dimaksudkan untuk mencari pemecahan mengenai hal-hal yang timbul dengan mendadak dan sedapat mungkin bertujuan untuk mempermudah tugas yang dibebankan kepada pimpinan tertinggi sekutu dan pemerintah Belanda, serta memudahkan tercapainya tujuan bersama. Perlu dimaklumi bahwa peraturan ini semata-mata hanya bersifat sementara tanpa mengganggu kedaulatan Belanda dalam bentuk apapun juga.”
dto. Ernest Bevin
(Menteri Luar Negeri Inggris – pen)
Azas-azas yang perlu diperhatikan dalam mengatur pemerintahan dan peradilan sipil di wilayah India Belanda dalam Komando Asia Tenggara.
1. Di daerah-daerah di mana terdapat operasi-operasi militer, perlu dilakukan peninjauan dalam stadium (tingkat) pertama atau militer. Selama itu maka Panglima Tertinggi Sekutu, sesuai dengan situasi, berhak untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggapnya perlu. Selama berlaku keadaan stadium pertama itu, maka pemerintah Belanda, dalam usahanya untuk membantu Panglima Tentara Sekutu dalam melaksanakan tugasnya, akan memperbantukan pada tentara Sekutu itu, perwira-perrwira NICA (Netherlands Indies Civil Administration) secukupnya untuk menjalankan pemerintahan di wilayah India Belanda yang telah dibebaskan, di bawah pengawasan umum fihak komandan militer Sekutu setempat. Dinas-dinas dari NICA akan dipergunakan sebanyak mungkin dalam setiap kesempatan yang berhubungan dengan pemerintahan sipil, termasuk pelaksanaan rencana-rencana sehubungan dengan eksploitasi sumber-sumber bantuan dari wilayah India Belanda yang telah dibebaskan, bila sekiranya kebutuhan militer menghendakinya selama dalam keadaan stadium pertama itu. Kiranya perlu diketahui, bahwa perwira-perwira NICA itu mempunyai cukup kekuasaan untuk melakukan tindakan-tindakan yang dianggap perlu. Penggunaan atau penguasaan tenaga kerja, tempat tinggal dan bahan-bahan persediaan, pemakaian tanah, gedung-gedung, alat-alat pengangkutan dan dinas-dinas lainnya yang oleh Panglima Tertinggi Sekutu dianggap perlu untuk kebutuhan militer dari komandonya, sedapat mungkin akan diusahakan dengan perantaraan pembesar-pembesar India Belanda, sesuai dengan hukum India Belanda.
2. Telah tercapai kata sepakat, bahwa Pemerintah India Belanda secepat dan sepraktis mungkin akan diberi kembali tanggung jawab sepenuhnya atas pemerintahan sipil di wilayah India Belanda. Bila menurut pertimbangan, situasi militer mengizinkan, maka Panglima Tertinggi Sekutu akan segera memberitahukan Letnan Gubernur Jenderal untuk kembali bertanggung jawab atas pemerintahan sipil.
3. Pemerintahan India Belanda, dinas-dinas administrasi serta peradilan Belanda dan India Belanda akan dilaksanakan oleh pembesar-pembesar India Belanda, sesuai dengan hukum yang berlaku di India Belanda.
Butir yang terpenting untuk Belanda adalah, penyerahan wilayah Indonesia yang telah “dibersihkan” oleh tentara Inggris kepada Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Chequers, tempat peristirahatan Perdana Menteri Inggris, menjadi tempat pertemuan penting untuk perundingan-perundingan dengan pemerintah Belanda.
Konferensi Yalta pada bulan Februari 1945, ternyata bukan hanya membagi Eropa menjadi dua blok: Barat dan Timur, melainkan juga menghasilkan suatu keputusan yang sangat fatal bagi negara-negara bekas jajahan negara Eropa. Dalam suatu pembicaraan rahasia antara Roosevelt dan Churchill, disepakati untuk mengembalikan situasi di Asia kepada status quo, seperti sebelum invasi Jepang Desember 1941. Kesepakatan rahasia keduanya ini dipertegas dan diformalkan dalam deklarasi Potsdam pada 26 Juli 1945.
Di sini terlihat, bahwa Atlantic Charter –isinya terpenting adalah butir tiga yaitu “hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasib sendiri” (Right for selfdetermination of peoples)- yang dicetuskan oleh Roosevelt dan Churchill pada 14 Agustus 1941, hanya sebagai suatu lip service, sekadar propaganda untuk menunjukkan bahwa mereka seolah-olah sangat peduli akan nasib negara-negara jajahan. Namun belang ini segera terlihat, yaitu ketika Jerman telah diambang kekalahan, yang berarti juga setelah itu Jepang pasti akan dapat dihancurkan, mereka melupakan janji-janji muluk sebelumnya, dan bahkan membantu mengembalikan bekas-bekas jajahan kepada para penguasa sebelumnya, termasuk Indonesia yang akan “dikembalikan” kepada Belanda. Kepalsuan janji mereka terlihat nyata setelah Perang Dunia II di Eropa dan Perang Pasifik selesai, di mana negara-negara yang dijajah masih harus berjuang bertahun-tahun untuk mencapai kemerdekaan.
Kolonel KNIL Raden Abdul Kadir Wijoyoatmojo tiba di Jakarta dari Australia, bersama Mayor KNIL Santoso. Setelah tiba di Jakarta, Wijoyoatmojo segera mengadakan sejumlah pertemuan yang sangat rahasia dengan teman-temannya dan mantan perwira-perwira KNIL bawahannya. Mereka membantu Kolonel van der Post, yang kemudian menjabat sebagai Gubernur Militer Sekutu untuk Batavia dalam tugas sehari-harinya.
Pada 1 September 1945, van Mook bersama van der Plas menemui Mountbatten di Kandy, Ceylon (Sri Lanka), untuk menindak-lanjuti hasil perundingan CAA antara Belanda dan Inggris, serta tindaklanjut hasil keputusan konferensi Yalta dan Deklarasi Potsdam. Nampaknya, misi van Mook dan van der Plas berhasil, karena sehari setelah pertemuan tersebut, Mountbatten mengeluarkan perintah tertanggal 2 September 1945 kepada pada komandan Divisi, termasuk komandan Divisi 5, dengan kalimat yang kemudian berakibat fatal bagi rakyat Indonesia, terutama di Surabaya. Isi perintah Mountbatten sebagai berikut:
Headquarters, S.E.Asia Command
2 Sept. 1945.
From : Supreme Commander S.E.Asia
To : G.O.C. Imperial Forces.
Re. Directive ASD4743S.
You are instructed to proceed with all speed to the island of Java in the East Indies to accept the surrender of Japanese Imperial Forces on that island, and to release Allied prisoners of war and civilian internees.
In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will re-establish civilians rule and return the colony to the Dutch Administration, when it is in a position to maintain services.
The main landing will be by the British Indian Army 5th Division, who have shown themselves to be most reliable since the battle of El Alamein.(3)
Intelligence reports indicate that the landing should be at Surabaya, a location which affords a deep anchorage and repair facilities.
As you are no doubt aware, the local natives have declared a Republic, but we are bound to maintain the status quo which existed before the Japanese Invasion.
I wish you God speed and a sucessful campaign.
(signed)
Mountbatten
Vice Admiral.
Supreme Commander S.E.Asia.
Kalimat:
“In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will re-establish civilians rule and return the colony to the Dutch Administration, when it is in a position to maintain services.”
dan kalimat berikutnya:
“……the local natives have declared a Republic, but we are bound to maintain the status quo which existed before the Japanese Invasion.”
menyatakan secara jelas dan gamblang maksud Inggris untuk
“…..mengembalikan koloni (Indonesia) kepada Administrasi Belanda…”
dan
“………mempertahankan status quo yang ada sebelum invasi Jepang.”
Setelah perang di Eropa usai dengan menyerahnya Jerman pada 8 Mei 1945, fokus kekuatan tempur tentara Sekutu dialihkan ke Perang Pasifik untuk menghadapi Jepang. Walau pun tanggal 11 Februari 1945 di Yalta telah disepakati ikutsertanya Uni Sovyet dalam perang melawan Jepang, namun Amerika Serikat berusaha mencegah terulangnya pemberian konsesi kepada Uni Sovyet seperti di Eropa, di mana mereka praktis membagi Eropa dan Jerman menjadi dua bagian, yaitu Eropa Barat dan Berlin Barat di bawah pengaruh kapitalisme Barat dan Eropa Timur serta Berlin Timur, di bawah pengaruh komunis Uni Sovyet. Pasukan Uni Sovyet telah memasuki Korea bagian utara dan bersiap-siap untuk memulai menyerang Jepang dari arah utara.
Untuk mempercepat penguasaan Sekutu atas Jepang, pada bulan Juli 1945 di Potsdam, Jerman, dicapai kesepakatan antara Amerika Serikat dan Inggris, bahwa MacArthur harus secepatnya mengerahkan pasukannya menuju Jepang dan menyerahkan komando atas wilayah India Belanda kepada Komando Asia Tenggara di bawah Vice Admiral Lord Louis Mountbatten. Maka pada tanggal 15 Agustus 1945, wewenang atas Jawa, Bali, Lombok, Kalimantan dan Sulawesi diserahkan oleh MacArthur kepada Mountbatten. Banyak orang berpendapat, bahwa nasib Indonesia akan berbeda apabila yang masuk ke Indonesia adalah tentara Amerika, dan bukan tentara Inggris.
Mengenai penambahan tugas yang diberikan secara mendadak kepadanya, Mountbatten menulis:
“Having taken over the NEI (Netherlands East Indies – pen.) from the South-West Pacific Area without any intelligence reports, I had been given no hint of the political situation which had arisen in Java. It was known of course, that an Indonesian Movement had been in existence before the war; and that it had been supported by prominent intellectuals, some of whom had suffered banishment for their participation in nationalist propaganda –but no information had been made available to me as to the fate of this movement under the Japanese occupation.
Dr. H.J. van Mook, Lieut.-Governor-General of the NEI who had come to Kandy on 1st September, had given me no reason to suppose that the reoccupation of Java would present any operational problem beyond the of rounding up the Japanese.”
Van Mook dan pimpinan Belanda lain selalu menyatakan kepada pimpinan militer Inggris, bahwa pengambil-alihan Indonesia tidak memerlukan kekuatan militer. Kemungkinan karena percaya akan keterangan van Mook tersebut, maka Mountbatten mengirim salah satu stafnya, Mayor Jenderal A.W.S. Mallaby, yang adalah seorang perwira administrasi, yang belum pernah memimpin pasukan tempur. Untuk dapat memimpin satu Brigade tempur, ia rela pangkatnya turun menjadi Brigadir Jenderal. Adalah suatu kebanggaan bagi seorang perwira, apabila dapat menjadi komandan pasukan tempur.
Catatan Admiral Lord Mountbatten tersebut menunjukkan dengan jelas, bahwa informasi yang diberikan oleh van Mook kepada Mountbatten salah dan menyesatkan, sehingga berakibat sangat fatal, bukan saja bagi rakyat Indonesia, namun juga bagi tentara Inggris, sebagaimana kemudian dialami oleh Brigade 49 di Surabaya bulan Oktober 1945, yang mengalami kehancuran total dalam pertempuran dahsyat di Surabaya pada 28-29 Oktober 1945, dan juga kemudian mengakibatkan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby, perwira tinggi Inggris pertama yang tewas dalam perang.
Secara resmi, sebenarnya tugas pokok yang diberikan oleh pimpinan Allied Forces kepada Mountbatten adalah:
1. Melucuti tentara Jepang serta mengatur pemulangan kembali ke negaranya (The disarmament and removal of the Japanese Imperial Forces),
2. membebaskan para tawanan serta interniran Sekutu yang ditahan oleh Jepang di Asia Tenggara (RAPWI - Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees), termasuk di Indonesia, serta
3. menciptakan keamanan dan ketertiban (Establishment of law and order).
Namun di kemudian hari, ternyata ada hidden agenda (agenda rahasia) yang dilakukan oleh tentara Inggris -dengan mengatasnamakan Sekutu- yaitu mengembalikan Indonesia sebagai jajahan kepada Belanda, sebagaimana tertera secara gamblang dalam surat perintah Mountbatten tertanggal 2 September 1945 kepada komandan-komandan Divisi, sehari setelah kunjungan van Mook di markas Besar Tentara Sekutu di Kandy, Sri Lanka.
Pada waktu itu, para pemimpin Indonesia belum mengetahui adanya hasil keputusan konferensi Yalta yang sehubungan dengan Asia, yaitu mengembalikan situasi kepada status quo, seperti sebelum invasi Jepang tahun 1941. Juga belum diketahui adanya perjanjian bilateral antara Belanda dan Inggris di Chequers pada 24 Agustus 1945, mengenai komitmen bantuan Inggris kepada Belanda. Selain itu, pernyataan kontroversial yang dikeluarkan oleh Jenderal Sir Philip Christison di Singapura sebelum berangkat ke Jakarta, bahwa Tentara Sekutu hanya akan menjalankan tugas-tugas kemiliteran, telah membesarkan hati pimpinan Republik Indonesia. Mungkin pada waktu itu pernyataan tersebut tulus disampaikannya, namun dengan demikian boleh dikatakan, bahwa para pemimpin Republik Indonesia waktu itu terkecoh oleh siasat Inggris dan Belanda.
Jalan sejarah mungkin akan menjadi lain, apabila waktu itu telah diketahui isi surat Mountbatten kepada komandan-komandan pasukan, terutama apabila pimpinan Republik Indonesia telah mengetahui adanya kesepakatan Inggris dengan Belanda di Chequers tanggal 24 Agustus 1945. Apabila hal-hal tersebut telah diketahui pada waktu itu, dapat dipastikan bahwa para pimpinan Republik –terutama dari garis keras- tidak akan menerima perdaratan tentara Sekutu, yang di banyak tempat ternyata membawa perwira dan serdadu Belanda dengan berkedok RAPWI. Paling sedikit, perlawanan bersenjata telah dimulai di seluruh Indonesia sejak September 1945, dan tidak pada akhir bulan Oktober/awal November, di mana tiga divisi Inggris -British-Indian Divisions- dengan persenjataan lengkap dan moderen telah mendarat di Jawa dan Sumatera, dan dua Divisi Australia dapat sepenuhnya menguasai seluruh wilayah Indonesia bagian timur, yaitu dari mulai Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat dan seterusnya ke timur.
Jumlah tentara Jepang yang harus dilucuti dan ditahan di Sumatera, Jawa, Sunda Kecil, Kalimantan, Papua Barat dll. mencapai lebih dari 300.000 orang. Setelah dilucuti, mereka juga akan dipulangkan kembali ke Jepang. Selain itu masih terdapat lebih dari 100.000 tawanan dan interniran Sekutu yang harus dibebaskan dari tahanan Jepang dan juga akan dipulangkan ke negara masing-masing. Semula, Mountbatten memperkirakan akan diperlukan 6 Divisi untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas tersebut, namun kenyataannya, Inggris hanya dapat menyiapkan 3 Divisi, itupun dengan keterlambatan, sehingga ketika mereka tiba di bekas India Belanda, boleh dikatakan hampir seluruh tentara Jepang telah dilucuti oleh pihak Republik Indonesia, yang kemudian menguasai persenjataan tersebut, seperti yang terjadi di Surabaya.
Untuk pelaksanaan tugas tersebut, Mountbatten membentuk Allied Forces in the Netherlands East Indies (AFNEI) –Tentara Sekutu di Hindia Belanda; dan jabatan Komandan AFNEI, semula dijabat oleh Rear Admiral Sir Wilfred Patterson, kemudian digantikan oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison, Panglima Tentara ke 15 Inggris, yang juga seorang bangsawan Inggris. Christison sendiri baru tiba di Jakarta tanggal 30 September 1945. Pasukan yang akan ditugaskan dari British-Indian Divisions, adalah Divisi 5 di bawah Mayor Jenderal Robert C. Mansergh untuk Jawa Timur, Divisi 23 di bawah Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawthorn untuk Jawa Barat dan Jawa Tengah, sedangkan Divisi 26 di bawah Mayor Jenderal H.M. Chambers untuk Sumatera.
“Jasa” Australia kepada Belanda tahun 1945/1946.
Untuk pelaksanaan tugasnya, Mountbatten kemudian mendapat bantuan dua Divisi Australia di bawah Letnan Jenderal Sir Leslie J. Morsehead, yang karena kekejamannya mendapat julukan “Ming the merciless” (Ming yang tak kenal ampun). Kedua Divisi Australia tersebut ditugaskan untuk menduduki kota-kota penting di Kalimantan dan wilayah Indonesia Timur lainnya.
Ketika Perang Dunia II pecah, Morsehead ditugaskan di Afrika sebagai komandan Brigade AIF 18, dan pada tahun 1941, dia menjadi Panglima Divisi 9. Tahun 1944 Morsehead diangkat menjadi Panglima Tentara Australia 1 (1st Australian Corps), yang membawahi Papua sampai Kalimantan.
Jenderal MacArthur menugaskan Morsehead untuk menyerbu pertahanan Jepang di Kalimantan, dan kemudian membantu Belanda untuk memperoleh Indonesia kembali sebagai jajahan, sesuai dengan janjinya kepada van Mook dalam pertemuan di pulau Tacloban, Filipina pada 10 Desember 1944. Dengan nama sandi Oboe 1, penyerangan atas Kalimantan dimulai dengan penyerbuan pasukan Brigade 26 pada 1 Mei 1945 atas Pulau Tarakan. Pada 6 Mei kota Tarakan dan bandaranya jatuh ke tangan tentara Australia, dan pada 22 Juni perlawanan tentara Jepang di seluruh Pulau Tarakan berakhir.
Pada 1 Juli 1945, Divisi 7 tentara Australia mendarat di Balikpapan. Pendaratan ini merupakan pendaratan pasukan amphibi terbesar dan terakhir yang dilakukan oleh tentara Australia pada Perang Dunia II. Sasaran utamanya adalah menguasai ladang-ladang minyak yang sangat dibutuhkan untuk keperluan perang tentara Sekutu.
Pada 15 Agustus 1945, Kaisar Hirohito mengumumkan penghentian tembak-menembak secara sepihak. Namun dokumen menyerah tanpa syarat Jepang kepada Sekutu baru ditandatangani tanggal 2 September 1945 di atas kapal Missouri di Tokyo Bay. Jadi antara tanggal 15 agustus 1945 sampai 2 September 1945,di seluruh wilayah bekas pendudukan Jepang terdapat vacuum of power (kekosongan kewenangan). Di masa vacuum of power tersebut, para pemimpin bangsa Indonesia pada 17 agustus 1945 menyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia, dan pada 18 Agustus, Ir. Sukarno dan Drs. M. Hatta diangkat menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Sukarno-Hatta kemudian membentuk Kabinet Pemerintah RI pertama.
Dengan demikian tiga syarat pembentukan suatu negara telah terpenuhi, yaitu:
1. adanya wilayah,
2. adanya penduduk,
3. adanya pemerintahan
Pembentukan negara Republik Indonesia ini juga sejalan dengan butir tiga dari Atlantic Charter, yang dicetuskan oleh Presiden Amerika Serikat F.D. Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris winston Churchill, yaitu: “Right for selfdetermination of peoples (haka bangsa-bangsa untuk menentukan nasib sendiri)”.
Pernyataan kemerdekaan ini bukan merupakan pemberontakan terhadap Pemerintah Belanda atau India Belanda, karena pada 2 Maret 1942, Pemerintah India Belanda telah menyerah kepada Jepang, dan pada 2 Maret 1942 di kalijati, Letnan Jenderal ter Poorten, Panglima Tertinggi Tentara Belanda di India Belanda, mewakili Gugbernur Jenderal Jonkheer Tjarda van Stachenborg-Stachouwer, telah menandatangani dokumen menyerah tanpa syarat kepada Jepang, dan menyerahkan seluruh wilayah India Belanda kepada Jepang.
Juga bukan pemberontakan terhadapa Jepang, karena Je[pang telah menyatakan menyerah kepada Sekutu pada 15 agustus 1945.
Belanda ynag “merasa” masih memiliki Indonesia sebagai jajahan, berusaha untuk berkuasa kembali di Indonesia, yang telah menyatakan kemerdekaannya. Dalam upaya untuk kembali menjadi penguasa di Indonesia, Belanda melobi –dan berhasil- Pemerintah Inggris, yang kemudian menghasilkan Civil Affairs Agreement (CAA). Pemerintah Inggris memerintahkan militernya untuk melaksanakan perjanjian tersebut dan “menyelipkan hidden agenda (agenda rahasia)” ini dalam tugas Allied Forces (Tentara Sekutu). Untuk pelaksanaan hidden agenda tersebut, 3 divisi tentara Inggris dibantu oleh 2 divisi tentara Australia di bawah pimpinan Letnan Jenderal Leslie “Ming the merciless” Morshead.
Pimpinan militer Inggris tidak dapat segera mengirimkan divisi-divisi yang telah ditentukan. Karena belum dapat memberangkatkan pasukan ke Jawa. Tanggal 8 September 1945, Inggris menerjunkan beberapa perwira marinir dengan parasut di bawah pimpinan Mayor Alan G. Greenhalgh di Jakarta. Pada hari itu, Kapten Nakamura memberikan informasi kepada Letnan Kolonel van der Post, bahwa 4 orang parasutis telah mendarat di bandar udara Kemayoran dan langsung dibawa ke Hotel des Indes. Selain Mayor Greenhalgh, ada seorang perwira Belanda, Letnan Mr. S. J. Baron van Tuyll van Seroskerken, dua orang prajurit Inggris dan tiga orang prajurit Belanda. Mereka adalah staf komunikasi yang membawa peralatan baru yang canggih untuk berkomunikasi dengan dunia luar. Peralatan tersebut segera dipasang di markas Letkol van der Post. Pada petang hari itu juga telah terjalin kontak langsung dengan Markas Besar Tentara Sekutu Komando Asia Tenggara di Kandy, Sri Langka.
Mayor Alan Greenhalgh dan Letnan Mr. S. J. Baron van Tuyll van Seroskerken mewakili suatu organisasi yang baru dibentuk, dengan nama lengkapnya adalah The Combined Services Organization for the Relief of all Prisoners-of-War and Civilian Internees. Di seluruh Asia Tenggara, organisasi ini kemudian dikenal sebagaiRecovery of Allied Prisoners of War and Internees - RAPWI.
Tanggal 15 September 1945, Rear Admiral Sir Wilfred R. Patterson dengan kapal perang H.M.S. Cumberland berlabuh di Jakarta. Petinggi Belanda yang ikut bersama Patterson di kapal tersebut adalah van der Plas, mantan Gubernur Jawa Timur sewaktu pemerintahan India Belanda, yang kini mewakili NICA dan sejumlah orang Belanda, yang merupakan pejabat tinggi Civil Affairs. Letkol van der Post, Mayor Greenhalgh dan Letnan van Tuyll segera ke pelabuhan untuk menemui mereka di atas kapal.
Yang pertama dilakukan oleh van der Post adalah menyampaikan laporan yang telah disiapkannya –terutama mengenai perkembangan di Indonesia sejak Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945- kepada Admiral Patterson, dengan diiringi permohonan agar laporan tertulis tersebut dibaca, sebelum dia (van der Post) memberikan laporan (lisan) dan menjawab pertanyaan-pertanyaan. Patterson terlihat sangat terkejut membaca laporan tertulis dari van der Post tersebut, sedangkan orang-orang Belanda tidak percaya dengan hal-hal yang disampaikan oleh van der Post. Mengenai hal ini, dalam laporannya kemudian hari, van der Post menulis:
“ My intelligence report astonished even the Admiral, but the Dutch contingent of high ranking civil affairs officers and representatives of other services were filled with disbelief. I in my turn was astonished that their ignorance of what had happening in Java, not just since their capitulation but over the past three weeks, was even greater than I in my most extreme anxieties had presupposed from listening to their radios…
… for the moment Mr. van der Plas suppressed his eagerness to go ashore and hoist the Dutch flag over the government buildings in Batavia…”
Memang tidak bisa diharapkan, bahwa orang-orang Belanda itu bangun dari mimpi panjang selama tiga setengah tahun, dan “Tuan Besar” van der Plas merasa sangat wajar untuk mengibarkan kembali bendera si tiga warna, dan sudah barang tentu dia ingin memangku jabatannya kembali sebagai Gubernur Jawa Timur. Rencana pengibaran bendera itu tentu saja ditentang oleh van der Post. Admiral Patterson kemudian mengangkat Letnan Kolonel Laurens van der Post menjadi Gubernur Militer AFNEI untuk Batavia (Jakarta). Pada hari-hari berikutnya, dengan pesawat terbang dari Singapura, datang sejumlah perwira Belanda di bawah pimpinan Kolonel Ir. D.L. Asjes, yang akan diperbantukan ke pusat RAPWI.
Pada 18 September 1945, beberapa staf RAPWI diterjunkan dengan payung di Gunungsari, Surabaya. Mereka ditugaskan untuk berhubungan dengan para interniran Belanda dan Sekutu. Oleh Jepang, tim RAPWI ditempatkan di Hotel Yamato (Oranje), di Tunjungan, tanpa persetujuan pimpinan Republik Indonesia.
Pendaratan satu batalyon Seaforth Highlanders (Batalyon Seaforth Highlanders termasuk resimen yang lebih dari 200 tahun lalu, telah mengharumkan namanya dalam operasi melawan Perancis dan Perancis- Belanda di Jawa di masa kepemimpinan Thomas Stamford Raffles) dari Divisi 23 tentara Inggris di Jakarta, baru dilakukan pada 30 September 1945, 43 (!) hari setelah pernyataan kemerdekaan Republik Indonesia. Berangsur-angsur Inggris mengirim pasukan dari Divisi 23 ke Bogor, Bandung dan Semarang. Letnan Jenderal Sir Philip Christison, yang sebelumnya adalah Panglima tentara Inggris di Arakan, Birma, tiba di Jakarta pada 30 September 1945, dengan pesawat pembom Mitchell. Sir Philip Christison, Panglima the 15 British Army Corps, memulai karir militernya sebagai dokter tentara, semasa Perang Dunia I. Christison yang oleh teman-teman akrabnya dipanggil “Christie”, diangkat menjadi Panglima AFNEI (Allied Forces in the Netherlands East Indies) pada 27 September 1945.
Setelah memperoleh informasi dari perwira-perwira Inggris yang berada di Jakarta, Lord Mountbatten mengemukakan kebijakan baru yang akan dilakukannya di Indonesia, yaitu:
“Gagasan kami satu-satunya adalah membuat Belanda dan Indonesia saling berciuman dan kemudian mengundurkan diri.”
Kebijakan ini jelas sangat berbeda dengan surat perintah yang telah dikeluarkannya pada 2 September 1945, sehari setelah kedatangan van Mook dan van der Plas di Markas Besarnya di Kandy, Sri Lanka. Nampaknya sejalan dengan kebijakan baru dari Mountbatten tersebut, sebelum berangkat ke Jakarta, di Singapura Letnan Jenderal Christison membuat pernyataan di muka pers yang kemudian menjadi sangat kontroversial. Anderson mencatat:
…..Christison mengatakan, bahwa Inggris mempunyai tiga tujuan di Indonesia:
- untuk melindungi dan mengungsikan tawanan-tawanan perang Sekutu dan tawanan-tawanan lainnya;
- melucuti dan mengembalikan Jepang, dan
- memelihara hukum dan ketertiban.
Angkatan Darat Jepang ke 16 akan bertanggung jawab atas keamanan dalam negeri di daerah-daerah yang tidak diduduki Sekutu, sampai
“pengaturan-pengaturan tercapai bagi pejabat-pejabat setempat untuk mengambilalihnya. Kemudian Jepang akan dilucuti …
…Inggris tidak mempunyai maksud untuk mencampuri urusan-urusan dalam negeri, melainkan hanya untuk menjamin hukum dan ketertiban.”
Christison juga meminta kepada pemimpin-pemimpin Indonesia supaya memperlakukan dia dan pasukannya sebagai tamu-tamu. Selanjutnya dia juga mengatakan: “Pasukan Inggris tidak akan bergerak di luar daerah-daerah pendudukan yang telah ditetapkan, yaitu Batavia (Jakarta), Surabaya, Medan dan Padang, untuk maksud apapun……
Tentu pernyataan ini –yang membesarkan hati pimpinan Republik Indonesia-menggoncangkan para petinggi Belanda, baik yang di negeri Belanda, maupun yang telah berada di Indonesia karena mereka menilai, dengan pernyataan Christison tersebut, Inggris bermaksud tidak akan memenuhi perjanjian Chequers dan hasil keputusan Konferensi Yalta serta Deklarasi Potsdam, mengenai pengembalian situasi kepada status quo di Asia, seperti sebelum invasi Jepang tahun 1942. Reaksi keras dari Pemerintah Belanda membuat Pemerintah Inggris mengeluarkan pernyataan, bahwa Inggris tidak bermaksud untuk keluar dari perjanjian –Civil Affairs Agreement- yang telah ditandatangani di Chequers tanggal 24 Agustus 1945.
Atas desakan pihak Belanda, Inggris menyerahkan wewenang atas Kalimantan serta kepulauan lain di bagian timur Indonesia -kecuali Bali dan Lombok- kepada tentara Australia (Meelhuijsen, 2000, hlm. 31).
Mengenai sepak-terjang tentara Australia dalam membantu Belanda “membersihkan” wilayah timur Indonesia, Anthony Reid mencatat (5):
“Tentara Australia ini sebelumnya termasuk Komando Wilayah Pasifik Baratdaya yang kemudian dibubarkan, dengan tugas baru yang diberikan kepada Letnan Jenderal MacArthur. Kini mereka diberi wewenang atas Kalimantan, Sulawesi, dan semua pulau di bagian Timur, kecuali Bali dan Lombok. Mereka mempunyai kekuatan pasukan yang besar di Borneo Inggris, Kalimantan, Irian dan markas besar mereka di Morotai. Dengan demikian, mereka dapat bergerak lebih cepat daripada tentara Inggris. Pendaratan tentara Australia,
- di Kupang tanggal 11 September 1945,
- di Banjarmasin tanggal 17 September,
- di Makasar tanggal 21 September,
- di Ambon tanggal 22 September,
- di Manado tanggal 2 Oktober,
- di Pontianak tanggal 16 Oktober.
Pasukan Australia datang bersama kesatuan-kesatuan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) di sebagian besar kota-kota itu sebelum adanya suatu gerakan Republik yang terorganisasi dengan baik. Oleh karena itu, mereka relatif tidak banyak menghadapi kesulitan untuk melaksanakan rencana semula guna mempersiapkan pengambilalihan pemerintahan oleh pihak Belanda.”
Perlawanan hebat mereka hadapi terus di Sulawesi Selatan. Belanda masuk kembali ke Sulawesi Selatan dengan membonceng tentara Australia pada pertengahan bulan September 1945. Pada bulan Oktober 1945 Belanda dapat membentuk kembali KNIL yang terdiri dari beberapa ratus orang tentara.
Sementara itu, pada bulan Juni/Juli 12946, timbul konflik internal Republik Indonesia, dan Belanda memanfaatkan situasi ini dengan memperkuat posisi mereka di daerah-daerah di luar Jawa dan Sumatera, yang telah “dibersihkan” oleh tentara Australia. Pada 2 Maret 1946, Belanda mendaratkan sekitar 2.000 tentara di Bali.
Pada 3 Juli 1946, terjadi peristiwa ini kemudian dikenal sebagai “Kudeta 3 Juli”, di mana ratusan tokoh oposisi Indonesia ditangkap dan dimasukkan ke penjara.
Tentara Pendudukan Sekutu dan Belanda nampaknya memanfaatkan kemelut internal Republik dan melakukan langkah yang sangat merugikan posisi Republik. Pada 13 Juli 1946 secara resmi pimpinan tentara Australia “menyerahkan” wewenang pemerintahan atas Kalimantan, Sulawesi serta daerah-daerah lain di luar Jawa dan Sumatera kepada NICA (Netherlands Indies Civil Administration).
Belanda tidak berlama-lama menunggu, dan pada 15 – 25 Juli 1946, van Mook menggelar “Konferensi Malino” di sebelah utara Makassar, yang dihadiri oleh 39 orang “wakil-wakil” dari Indonesia Timur Indonesia pilihan mereka. Dengan demikian Belanda dapat lebih leluasa menyusun strategi untuk membangun kekuasaannya di daerah-daerah di luar pulau Jawa dan Sumatera.
Setelah menerima “pelimpahan” kekuasaan pemerintahan dari tentara Australia, tentara Belanda mengadakan pembersihan terhadap pendukung Republik. Raja-Raja atau tokoh masyarakat yang berpihak ke Republik ditangkap atau disingkirkan. Dr. Sam Ratu Langie, yang oleh Pemerintah Republik Indonesia diangkat menjadi Gubernur Sulawesi pertama, ditangkap dan kemudian dibuang ke Serui, Papua Barat dan baru dibebaskan bulan Maret 1948. Para pendukung Republik, seperti Datu Luwu dan Arumpone dari Bone juga dibuang, bahkan Datu Suppa dibunuh.
Para pemuda pendukung Republik membentuk berbagai laskar dan pasukan. Salah seorang pemuda Sulawesi, Robert Wolter Mongisidi, kelahiran Mamalayang, Manado 14 Februari 1925, bergabung dengan Laskar Pemberontak Rakyat Sulawesi Selatan (LAPRIS) dan pada 27 Oktober 1945 memimpin serangan terhadap pos tentara Belanda di Makassar. Sejak itu Mongisidi terus mengadakan perlawanan, hingga tertangkapnya pada 28 Februari 1947, dan –di tengah-tengah perundingan Konferensi Meja Bunda di Den Haag, Belanda- dieksekusi pada bulan September 1949.
Belanda terus memperkuat tentaranya di Indonesia hingga mencapai sekitar 80.000 orang, dengan persenjataan yang jauh lebih hebat dan moderen, dibandingkan dengan yang dimiliki oleh tentara Indonesia, sehingga ketika Inggris menarik seluruh tentaranya dari Jawa dan Sumatera pada 30 November 1946, tentara Inggris dan Australia telah diganti oleh tentara Belanda dengan kekuatan yang sama. Suatu kerjasama yang sempurna, sesuai hasil Konferensi Yalta, Deklarasi Potsdam dan perjanjian Chequers.
Demikian “jasa” Australia dan Inggris dalam membantu Belanda menduduki wilayah-wilayah tersebut, karena pada waktu itu Belanda belum memiliki satuan bersenjata yang terorganisir; yang ada hanya bekas tawanan Jepang yang kondisi fisiknya belum mampu untuk bertempur.
Politik Australia terhadap Republik Indonesia baru berubah tahun 1948, setelah terlihat nyata, bahwa Belanda tidak mampu mempertahankan Indonesia sebagai jajahan. Australia memperhitungkan, bahwa apabila mereka meneruskan dukungan terhadap Belanda, dan kemudian ternyata Indonesia dapat menjadi negara besar yang merdeka dan berdaulat, Australia akan mendapat kesulitan menjalin hubungan bertetangga yang baik. Berdasarkan pertimbangan inilah maka terjadi perubahan sikap Australia. Namun tidak dapat dipungkiri, bahwa apabila Australia sejak semula tidak mendukung Belanda, Belanda tidak dapat menguasai seluruh wilayah Indonesia Timur, dan tak perlu terjadi pembantaian puluhan ribu rakyat Indonesia, terutama di Sulawesi Selatan.
Bila menengok sejarah hubungan Indonesia-Australia dari tahun 1945 sampai sekarang, akan terlihat, bahwa sejak awal pembentukan Republik Indonesia, Pemerintah Australia menunjukkan sikap yang sangat tidak bersahabat dengan Republik Indonesia.
Bukanlah rahasia, bahwa invasi TNI ke Timor Timur tahun 1976 –sehari setelah Presiden AS Gerald Ford dan penasihatnya, Henry Kissinger meninggalkan Jakarta- adalah atas persetujuan AS dan Australia, yang mengkhawatirkan Timor Timur yang merdeka akan masuk ke kubu komunis.
Setelah runtuhnya imperium Uni-sovyet, maka negara-negara barat melihat tidak ada lagi kepentingan mempertahankan diktator-diktator boneka mereka yang anti komunis. Negara-negara barat mulai melancarkan isu pelanggaran HAM untuk memojokkan para diktator yang selama perang dingin melawan blok komunis, sangat berguna bagi kepentingan blok kapitalis. Singkatnya, pendukung setia Amerika Serikat, Marcos dan Suharto, berhasil digulingkan oleh rakyatnya. Namun kini, isu pelanggaran HAM masih terus digulirkan, dengan kepentingan berbeda: Amerika Serikat tetap memerlukan “common enemy”, musuh bersama untuk konsumsi politik dalam negeri mereka, Australia tidak menginginkan tetangganya yang kuat, dan Belanda masih menyimpan dendam sejarah atas “kehilangan“ koloni mereka yang kaya.
Yang hingga kini relatif paling sering melancarkan “serangan” terhadap Indonesia sehubungan dengan pelanggaran HAM selain Amerika Serikat adalah Australia, Belanda dan Jerman. Bahkan kini beberapa anggota Parlemen Amerika Serikat dan beberapa institusi gereja di Jerman telah menyatakan sikapnya secara terang-terangan dan sangat gamblang, bahwa mereka mendukung pemisahan Papua dari NKRI.
Pemerintah AS, Australia dan Belanda selalu bermuka dua, di satu sisi, secara resmi mereka mengeluarkan pernyataan mendukung integritas RI atas wilayahnya, namun -baik langsung maupun tidak langsung- ikut mendanai kegiatan-kegiatan yang merongrong kedaulatan RI, termasuk dalam pembentukan opini negatif yang dilakukan oleh berbagai LSM dan Institusi di negara-negara tersebut.
Kasus terbaru yang menunjukkan Pemerintah Belanda bermuka dua dalam masalah kedaulatan wilayah NKRI adalah penugasan dan pendanaan kegiatan Prof. Dr. Pieter Drooglever, seorang pakar sejarah di Belanda, untuk membongkar kembali Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) di Papua tahun 1969. Hal ini diungkapkan secara terus terang oleh mantan Menlu Belanda J. Van Aartsen, karena Menlu yang sekarang Ben Bot -dalam posisi terjepit- tidak mau mengakui, bahwa penelitian yang dilakukan oleh Drooglever adalah atas penugasan dan pendanaan Pemerintah Belanda.
Setelah melakukan penelitian lebih dari 5 tahun (!), termasuk mendatangkan orang Papua ke Belanda untuk diwawancarai, pada bulan November 2005 Drooglever meluncurkan buku setebal 740 halaman yang berisi hasil penelitiannya mengenai “Act of Free Choice.” Dengan satu kalimat Drooglever menyebut bahwa “Hasil Pepera adalah suatu kecurangan.” PEPERA tersebut telah berlangsung dengan persetujuan dan di bawah pengawasan PBB, dan kemudian hasilnya juga disahkan oleh PBB. Buku ini sekarang menjadi referensi bagi orang-orang Papua Barat yang ingin memisahkan diri dari RI.
Perlu diingat, bahwa dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda tahun 1949, Irian Barat tidak termasuk dalam Republik Indonesia Serikat, yang memperoleh “pelimpahan kedaulatan” (soevereiniteitsoverdracht) dari Belanda pada 27 Desember 1949. Oleh karena itu patut dicurigai, bahwa langkah Belanda yang menugaskan dan mendanai kegiatan Prof. Drooglever ini, sebagai suatu usaha untuk memisahkan Papua Barat dari NKRI. Dengan menugaskan dan mendanai kegiatan ini saja sudah dapat dikatakan sebagai tindakan yang sangat tidak bersahabat.
Juga perlu dicatat, bahwa hingga saat ini Pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Bagi Pemerintah Belanda, kemerdekaan RI adalah 27 Desember 1949, yaitu pada waktu “penyerahan kedaulatan” (soevereniteitsoverdracht) dari Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS), yang dianggap sebagai kelanjutan dari Pemerintah India Belanda (Nederlands Indië). Dan seperti disebut di atas, Papua tidak termasuk dalam RIS.
Latar belakang sejarah
Tahun 1945, dalam upaya Belanda untuk kembali menguasai Indonesia sebagai jajahannya, Belanda dibantu oleh 3 divisi tentara Inggris dan 2 divisi tentara Australia, yang –sesuai dengan Civil Affairs Agreement antara Pemerintah Belanda dan Pemerintah Inggris- “membersihkan” kekuatan bersenjata Republik Indonesia, untuk kemudian “diserahkan” kepada Netherlands Indies civil Administration (NICA).
Ketika tentara Jepang menyerbu ke Asia tenggara, dan memulai penyerbuan ke Pulau Jawa tanggal 1 Maret 1942, banyak orang-orang Belanda yang segera melarikan diri ke Australia. Sejumlah pimpinan pemerintahan sipil dan militer yang lari ke Australia tersebut antara lain, Dr. Hubertus Johannes van Mook, mantan Letnan Gubernur Jenderar Hindia Belanda Timur, Dr. Charles Olke van der Plas, mantan Gubernur Jawa Timur, dan Simon Hendrik Spoor. Tahun 1946 Spoor, menggantikan Letnan Jenderal van Oyen menjadi Panglima Tertinggi Tentara Belanda di Indonesia.
Tahun 1942 jumlah tentara Belanda yang berhasil melarikan diri ke Australia hanya sekitar 1000 orang. Mereka kemudian dapat merekrut orang dari Suriname dan Curacao untuk menjadi tentara, sehingga saat Jepang menyerah pada bulan Agustus 1945, jumlah tentara Belanda yang berada di Australia sudah mencapai sekitar 5000 orang –termasuk orang Indonesia yang menjadi serdadu KNIL seperti Raden Abdul Kadir Wijoyoatmojo.
Pada bulan Agustus 1943 di Quebec, Kanada, dicapai kesepakatan antara Presiden Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris Churchill, untuk membentuk South East Asia Command (SEAC –Komando Asia Tenggara), dan mulai tanggal 16 November, SEAC berada di bawah pimpinan Vice Admiral Lord Louis Mountbatten. Wewenang SEAC meliputi Sri Lanka, sebagian Assam, Birma, Thailand, Sumatera, dan beberapa pulau kecil di Lautan India.
Pulau-pulau lain dari wilayah bekas India Belanda –Kalimantan, Sulawesi, Papua, dll.- berada di bawah wewenang Letnan Jenderal Douglas MacArthur, Supreme Commander South West Pacific Area Command – SWPAC (Panglima Tertinggi Tentara Sekutu Komando Wilayah Pasifik Baratdaya).
Semula, Belanda mengadakan perjanjian CAA dengan Amerika Serikat, yang ditandatangani pada 10 Desember 1944 di pulau Tacloban, Filipina (2). Jenderal MacArthur mewakili Amerika dan van Mook mewakili Belanda.
Pada 15 Agustus 1945 dilakukan penyerahan wewenang atas wilayah bekas India Belanda dari Letnan Jenderal Douglas MacArthur, panglima South West Pacific Area Command (Komando Wilayah Pasifik Baratdaya) kepada Vice Admiral Lord Louis Mountbatten, Panglima Tertinggi South East Asia Command (Komando Asia Tenggara). Pada hari itu juga, Letnan Gubernur Jenderal van Mook, bersama orang-orang Belanda yang ada di Australia mengadakan rapat dan bersiap-siap untuk segera berangkat ke Indonesia.
Berita mengenai proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, tentu sangat mengejutkan Pemerintah Belanda –termasuk van Mook dan kawan-kawan yang mendengar melalui radio di Australia.
Setelah penyerahan wewenang dari Panglima Tertinggi South West Pacific Area Command atas Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, serta daerah-daerah lain yang termasuk wilayah bekas India Belanda kepada South East Asia Command (SEAC) di bawah Lord Mountbatten, Pemerintah Belanda melakukan serangkaian pertemuan dan lobi dengan Pemerintah Inggris. Pada 24 Agustus 1945, di Chequers dekat London, Belanda dan Inggris menandatangani Civil Affairs Agreement (CAA) yang isinya adalah:
“Nota tanggal 24 Agustus 1945
Musyawarah yang berlangsung antara perwakilan Belanda dan Inggris mengenai asas-asas yang perlu diperhatikan bila saja timbul persoalan yang berhubungan dengan pemerintahan dan peradilan sipil, yang berlangsung di wilayah Netherlands Indies (India Belanda) yang telah dibebaskan dan ada di bawah perintah Panglima Tertinggi Sekutu, Komando Asia Tenggara, telah mencapai persetujuan mengenai persyaratan sebagaimana dalam memorandum ini.
Asas-asas yang terdapat dalam memorandum ini dimaksudkan untuk mencari pemecahan mengenai hal-hal yang timbul dengan mendadak dan sedapat mungkin bertujuan untuk mempermudah tugas yang dibebankan kepada pimpinan tertinggi sekutu dan pemerintah Belanda, serta memudahkan tercapainya tujuan bersama. Perlu dimaklumi bahwa peraturan ini semata-mata hanya bersifat sementara tanpa mengganggu kedaulatan Belanda dalam bentuk apapun juga.”
dto. Ernest Bevin
(Menteri Luar Negeri Inggris – pen)
Azas-azas yang perlu diperhatikan dalam mengatur pemerintahan dan peradilan sipil di wilayah India Belanda dalam Komando Asia Tenggara.
1. Di daerah-daerah di mana terdapat operasi-operasi militer, perlu dilakukan peninjauan dalam stadium (tingkat) pertama atau militer. Selama itu maka Panglima Tertinggi Sekutu, sesuai dengan situasi, berhak untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggapnya perlu. Selama berlaku keadaan stadium pertama itu, maka pemerintah Belanda, dalam usahanya untuk membantu Panglima Tentara Sekutu dalam melaksanakan tugasnya, akan memperbantukan pada tentara Sekutu itu, perwira-perrwira NICA (Netherlands Indies Civil Administration) secukupnya untuk menjalankan pemerintahan di wilayah India Belanda yang telah dibebaskan, di bawah pengawasan umum fihak komandan militer Sekutu setempat. Dinas-dinas dari NICA akan dipergunakan sebanyak mungkin dalam setiap kesempatan yang berhubungan dengan pemerintahan sipil, termasuk pelaksanaan rencana-rencana sehubungan dengan eksploitasi sumber-sumber bantuan dari wilayah India Belanda yang telah dibebaskan, bila sekiranya kebutuhan militer menghendakinya selama dalam keadaan stadium pertama itu. Kiranya perlu diketahui, bahwa perwira-perwira NICA itu mempunyai cukup kekuasaan untuk melakukan tindakan-tindakan yang dianggap perlu. Penggunaan atau penguasaan tenaga kerja, tempat tinggal dan bahan-bahan persediaan, pemakaian tanah, gedung-gedung, alat-alat pengangkutan dan dinas-dinas lainnya yang oleh Panglima Tertinggi Sekutu dianggap perlu untuk kebutuhan militer dari komandonya, sedapat mungkin akan diusahakan dengan perantaraan pembesar-pembesar India Belanda, sesuai dengan hukum India Belanda.
2. Telah tercapai kata sepakat, bahwa Pemerintah India Belanda secepat dan sepraktis mungkin akan diberi kembali tanggung jawab sepenuhnya atas pemerintahan sipil di wilayah India Belanda. Bila menurut pertimbangan, situasi militer mengizinkan, maka Panglima Tertinggi Sekutu akan segera memberitahukan Letnan Gubernur Jenderal untuk kembali bertanggung jawab atas pemerintahan sipil.
3. Pemerintahan India Belanda, dinas-dinas administrasi serta peradilan Belanda dan India Belanda akan dilaksanakan oleh pembesar-pembesar India Belanda, sesuai dengan hukum yang berlaku di India Belanda.
Butir yang terpenting untuk Belanda adalah, penyerahan wilayah Indonesia yang telah “dibersihkan” oleh tentara Inggris kepada Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Chequers, tempat peristirahatan Perdana Menteri Inggris, menjadi tempat pertemuan penting untuk perundingan-perundingan dengan pemerintah Belanda.
Konferensi Yalta pada bulan Februari 1945, ternyata bukan hanya membagi Eropa menjadi dua blok: Barat dan Timur, melainkan juga menghasilkan suatu keputusan yang sangat fatal bagi negara-negara bekas jajahan negara Eropa. Dalam suatu pembicaraan rahasia antara Roosevelt dan Churchill, disepakati untuk mengembalikan situasi di Asia kepada status quo, seperti sebelum invasi Jepang Desember 1941. Kesepakatan rahasia keduanya ini dipertegas dan diformalkan dalam deklarasi Potsdam pada 26 Juli 1945.
Di sini terlihat, bahwa Atlantic Charter –isinya terpenting adalah butir tiga yaitu “hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasib sendiri” (Right for selfdetermination of peoples)- yang dicetuskan oleh Roosevelt dan Churchill pada 14 Agustus 1941, hanya sebagai suatu lip service, sekadar propaganda untuk menunjukkan bahwa mereka seolah-olah sangat peduli akan nasib negara-negara jajahan. Namun belang ini segera terlihat, yaitu ketika Jerman telah diambang kekalahan, yang berarti juga setelah itu Jepang pasti akan dapat dihancurkan, mereka melupakan janji-janji muluk sebelumnya, dan bahkan membantu mengembalikan bekas-bekas jajahan kepada para penguasa sebelumnya, termasuk Indonesia yang akan “dikembalikan” kepada Belanda. Kepalsuan janji mereka terlihat nyata setelah Perang Dunia II di Eropa dan Perang Pasifik selesai, di mana negara-negara yang dijajah masih harus berjuang bertahun-tahun untuk mencapai kemerdekaan.
Kolonel KNIL Raden Abdul Kadir Wijoyoatmojo tiba di Jakarta dari Australia, bersama Mayor KNIL Santoso. Setelah tiba di Jakarta, Wijoyoatmojo segera mengadakan sejumlah pertemuan yang sangat rahasia dengan teman-temannya dan mantan perwira-perwira KNIL bawahannya. Mereka membantu Kolonel van der Post, yang kemudian menjabat sebagai Gubernur Militer Sekutu untuk Batavia dalam tugas sehari-harinya.
Pada 1 September 1945, van Mook bersama van der Plas menemui Mountbatten di Kandy, Ceylon (Sri Lanka), untuk menindak-lanjuti hasil perundingan CAA antara Belanda dan Inggris, serta tindaklanjut hasil keputusan konferensi Yalta dan Deklarasi Potsdam. Nampaknya, misi van Mook dan van der Plas berhasil, karena sehari setelah pertemuan tersebut, Mountbatten mengeluarkan perintah tertanggal 2 September 1945 kepada pada komandan Divisi, termasuk komandan Divisi 5, dengan kalimat yang kemudian berakibat fatal bagi rakyat Indonesia, terutama di Surabaya. Isi perintah Mountbatten sebagai berikut:
Headquarters, S.E.Asia Command
2 Sept. 1945.
From : Supreme Commander S.E.Asia
To : G.O.C. Imperial Forces.
Re. Directive ASD4743S.
You are instructed to proceed with all speed to the island of Java in the East Indies to accept the surrender of Japanese Imperial Forces on that island, and to release Allied prisoners of war and civilian internees.
In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will re-establish civilians rule and return the colony to the Dutch Administration, when it is in a position to maintain services.
The main landing will be by the British Indian Army 5th Division, who have shown themselves to be most reliable since the battle of El Alamein.(3)
Intelligence reports indicate that the landing should be at Surabaya, a location which affords a deep anchorage and repair facilities.
As you are no doubt aware, the local natives have declared a Republic, but we are bound to maintain the status quo which existed before the Japanese Invasion.
I wish you God speed and a sucessful campaign.
(signed)
Mountbatten
Vice Admiral.
Supreme Commander S.E.Asia.
Kalimat:
“In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will re-establish civilians rule and return the colony to the Dutch Administration, when it is in a position to maintain services.”
dan kalimat berikutnya:
“……the local natives have declared a Republic, but we are bound to maintain the status quo which existed before the Japanese Invasion.”
menyatakan secara jelas dan gamblang maksud Inggris untuk
“…..mengembalikan koloni (Indonesia) kepada Administrasi Belanda…”
dan
“………mempertahankan status quo yang ada sebelum invasi Jepang.”
Setelah perang di Eropa usai dengan menyerahnya Jerman pada 8 Mei 1945, fokus kekuatan tempur tentara Sekutu dialihkan ke Perang Pasifik untuk menghadapi Jepang. Walau pun tanggal 11 Februari 1945 di Yalta telah disepakati ikutsertanya Uni Sovyet dalam perang melawan Jepang, namun Amerika Serikat berusaha mencegah terulangnya pemberian konsesi kepada Uni Sovyet seperti di Eropa, di mana mereka praktis membagi Eropa dan Jerman menjadi dua bagian, yaitu Eropa Barat dan Berlin Barat di bawah pengaruh kapitalisme Barat dan Eropa Timur serta Berlin Timur, di bawah pengaruh komunis Uni Sovyet. Pasukan Uni Sovyet telah memasuki Korea bagian utara dan bersiap-siap untuk memulai menyerang Jepang dari arah utara.
Untuk mempercepat penguasaan Sekutu atas Jepang, pada bulan Juli 1945 di Potsdam, Jerman, dicapai kesepakatan antara Amerika Serikat dan Inggris, bahwa MacArthur harus secepatnya mengerahkan pasukannya menuju Jepang dan menyerahkan komando atas wilayah India Belanda kepada Komando Asia Tenggara di bawah Vice Admiral Lord Louis Mountbatten. Maka pada tanggal 15 Agustus 1945, wewenang atas Jawa, Bali, Lombok, Kalimantan dan Sulawesi diserahkan oleh MacArthur kepada Mountbatten. Banyak orang berpendapat, bahwa nasib Indonesia akan berbeda apabila yang masuk ke Indonesia adalah tentara Amerika, dan bukan tentara Inggris.
Mengenai penambahan tugas yang diberikan secara mendadak kepadanya, Mountbatten menulis:
“Having taken over the NEI (Netherlands East Indies – pen.) from the South-West Pacific Area without any intelligence reports, I had been given no hint of the political situation which had arisen in Java. It was known of course, that an Indonesian Movement had been in existence before the war; and that it had been supported by prominent intellectuals, some of whom had suffered banishment for their participation in nationalist propaganda –but no information had been made available to me as to the fate of this movement under the Japanese occupation.
Dr. H.J. van Mook, Lieut.-Governor-General of the NEI who had come to Kandy on 1st September, had given me no reason to suppose that the reoccupation of Java would present any operational problem beyond the of rounding up the Japanese.”
Van Mook dan pimpinan Belanda lain selalu menyatakan kepada pimpinan militer Inggris, bahwa pengambil-alihan Indonesia tidak memerlukan kekuatan militer. Kemungkinan karena percaya akan keterangan van Mook tersebut, maka Mountbatten mengirim salah satu stafnya, Mayor Jenderal A.W.S. Mallaby, yang adalah seorang perwira administrasi, yang belum pernah memimpin pasukan tempur. Untuk dapat memimpin satu Brigade tempur, ia rela pangkatnya turun menjadi Brigadir Jenderal. Adalah suatu kebanggaan bagi seorang perwira, apabila dapat menjadi komandan pasukan tempur.
Catatan Admiral Lord Mountbatten tersebut menunjukkan dengan jelas, bahwa informasi yang diberikan oleh van Mook kepada Mountbatten salah dan menyesatkan, sehingga berakibat sangat fatal, bukan saja bagi rakyat Indonesia, namun juga bagi tentara Inggris, sebagaimana kemudian dialami oleh Brigade 49 di Surabaya bulan Oktober 1945, yang mengalami kehancuran total dalam pertempuran dahsyat di Surabaya pada 28-29 Oktober 1945, dan juga kemudian mengakibatkan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby, perwira tinggi Inggris pertama yang tewas dalam perang.
Secara resmi, sebenarnya tugas pokok yang diberikan oleh pimpinan Allied Forces kepada Mountbatten adalah:
1. Melucuti tentara Jepang serta mengatur pemulangan kembali ke negaranya (The disarmament and removal of the Japanese Imperial Forces),
2. membebaskan para tawanan serta interniran Sekutu yang ditahan oleh Jepang di Asia Tenggara (RAPWI - Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees), termasuk di Indonesia, serta
3. menciptakan keamanan dan ketertiban (Establishment of law and order).
Namun di kemudian hari, ternyata ada hidden agenda (agenda rahasia) yang dilakukan oleh tentara Inggris -dengan mengatasnamakan Sekutu- yaitu mengembalikan Indonesia sebagai jajahan kepada Belanda, sebagaimana tertera secara gamblang dalam surat perintah Mountbatten tertanggal 2 September 1945 kepada komandan-komandan Divisi, sehari setelah kunjungan van Mook di markas Besar Tentara Sekutu di Kandy, Sri Lanka.
Pada waktu itu, para pemimpin Indonesia belum mengetahui adanya hasil keputusan konferensi Yalta yang sehubungan dengan Asia, yaitu mengembalikan situasi kepada status quo, seperti sebelum invasi Jepang tahun 1941. Juga belum diketahui adanya perjanjian bilateral antara Belanda dan Inggris di Chequers pada 24 Agustus 1945, mengenai komitmen bantuan Inggris kepada Belanda. Selain itu, pernyataan kontroversial yang dikeluarkan oleh Jenderal Sir Philip Christison di Singapura sebelum berangkat ke Jakarta, bahwa Tentara Sekutu hanya akan menjalankan tugas-tugas kemiliteran, telah membesarkan hati pimpinan Republik Indonesia. Mungkin pada waktu itu pernyataan tersebut tulus disampaikannya, namun dengan demikian boleh dikatakan, bahwa para pemimpin Republik Indonesia waktu itu terkecoh oleh siasat Inggris dan Belanda.
Jalan sejarah mungkin akan menjadi lain, apabila waktu itu telah diketahui isi surat Mountbatten kepada komandan-komandan pasukan, terutama apabila pimpinan Republik Indonesia telah mengetahui adanya kesepakatan Inggris dengan Belanda di Chequers tanggal 24 Agustus 1945. Apabila hal-hal tersebut telah diketahui pada waktu itu, dapat dipastikan bahwa para pimpinan Republik –terutama dari garis keras- tidak akan menerima perdaratan tentara Sekutu, yang di banyak tempat ternyata membawa perwira dan serdadu Belanda dengan berkedok RAPWI. Paling sedikit, perlawanan bersenjata telah dimulai di seluruh Indonesia sejak September 1945, dan tidak pada akhir bulan Oktober/awal November, di mana tiga divisi Inggris -British-Indian Divisions- dengan persenjataan lengkap dan moderen telah mendarat di Jawa dan Sumatera, dan dua Divisi Australia dapat sepenuhnya menguasai seluruh wilayah Indonesia bagian timur, yaitu dari mulai Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat dan seterusnya ke timur.
Jumlah tentara Jepang yang harus dilucuti dan ditahan di Sumatera, Jawa, Sunda Kecil, Kalimantan, Papua Barat dll. mencapai lebih dari 300.000 orang. Setelah dilucuti, mereka juga akan dipulangkan kembali ke Jepang. Selain itu masih terdapat lebih dari 100.000 tawanan dan interniran Sekutu yang harus dibebaskan dari tahanan Jepang dan juga akan dipulangkan ke negara masing-masing. Semula, Mountbatten memperkirakan akan diperlukan 6 Divisi untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas tersebut, namun kenyataannya, Inggris hanya dapat menyiapkan 3 Divisi, itupun dengan keterlambatan, sehingga ketika mereka tiba di bekas India Belanda, boleh dikatakan hampir seluruh tentara Jepang telah dilucuti oleh pihak Republik Indonesia, yang kemudian menguasai persenjataan tersebut, seperti yang terjadi di Surabaya.
Untuk pelaksanaan tugas tersebut, Mountbatten membentuk Allied Forces in the Netherlands East Indies (AFNEI) –Tentara Sekutu di Hindia Belanda; dan jabatan Komandan AFNEI, semula dijabat oleh Rear Admiral Sir Wilfred Patterson, kemudian digantikan oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison, Panglima Tentara ke 15 Inggris, yang juga seorang bangsawan Inggris. Christison sendiri baru tiba di Jakarta tanggal 30 September 1945. Pasukan yang akan ditugaskan dari British-Indian Divisions, adalah Divisi 5 di bawah Mayor Jenderal Robert C. Mansergh untuk Jawa Timur, Divisi 23 di bawah Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawthorn untuk Jawa Barat dan Jawa Tengah, sedangkan Divisi 26 di bawah Mayor Jenderal H.M. Chambers untuk Sumatera.
“Jasa” Australia kepada Belanda tahun 1945/1946.
Untuk pelaksanaan tugasnya, Mountbatten kemudian mendapat bantuan dua Divisi Australia di bawah Letnan Jenderal Sir Leslie J. Morsehead, yang karena kekejamannya mendapat julukan “Ming the merciless” (Ming yang tak kenal ampun). Kedua Divisi Australia tersebut ditugaskan untuk menduduki kota-kota penting di Kalimantan dan wilayah Indonesia Timur lainnya.
Ketika Perang Dunia II pecah, Morsehead ditugaskan di Afrika sebagai komandan Brigade AIF 18, dan pada tahun 1941, dia menjadi Panglima Divisi 9. Tahun 1944 Morsehead diangkat menjadi Panglima Tentara Australia 1 (1st Australian Corps), yang membawahi Papua sampai Kalimantan.
Jenderal MacArthur menugaskan Morsehead untuk menyerbu pertahanan Jepang di Kalimantan, dan kemudian membantu Belanda untuk memperoleh Indonesia kembali sebagai jajahan, sesuai dengan janjinya kepada van Mook dalam pertemuan di pulau Tacloban, Filipina pada 10 Desember 1944. Dengan nama sandi Oboe 1, penyerangan atas Kalimantan dimulai dengan penyerbuan pasukan Brigade 26 pada 1 Mei 1945 atas Pulau Tarakan. Pada 6 Mei kota Tarakan dan bandaranya jatuh ke tangan tentara Australia, dan pada 22 Juni perlawanan tentara Jepang di seluruh Pulau Tarakan berakhir.
Pada 1 Juli 1945, Divisi 7 tentara Australia mendarat di Balikpapan. Pendaratan ini merupakan pendaratan pasukan amphibi terbesar dan terakhir yang dilakukan oleh tentara Australia pada Perang Dunia II. Sasaran utamanya adalah menguasai ladang-ladang minyak yang sangat dibutuhkan untuk keperluan perang tentara Sekutu.
Pada 15 Agustus 1945, Kaisar Hirohito mengumumkan penghentian tembak-menembak secara sepihak. Namun dokumen menyerah tanpa syarat Jepang kepada Sekutu baru ditandatangani tanggal 2 September 1945 di atas kapal Missouri di Tokyo Bay. Jadi antara tanggal 15 agustus 1945 sampai 2 September 1945,di seluruh wilayah bekas pendudukan Jepang terdapat vacuum of power (kekosongan kewenangan). Di masa vacuum of power tersebut, para pemimpin bangsa Indonesia pada 17 agustus 1945 menyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia, dan pada 18 Agustus, Ir. Sukarno dan Drs. M. Hatta diangkat menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Sukarno-Hatta kemudian membentuk Kabinet Pemerintah RI pertama.
Dengan demikian tiga syarat pembentukan suatu negara telah terpenuhi, yaitu:
1. adanya wilayah,
2. adanya penduduk,
3. adanya pemerintahan
Pembentukan negara Republik Indonesia ini juga sejalan dengan butir tiga dari Atlantic Charter, yang dicetuskan oleh Presiden Amerika Serikat F.D. Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris winston Churchill, yaitu: “Right for selfdetermination of peoples (haka bangsa-bangsa untuk menentukan nasib sendiri)”.
Pernyataan kemerdekaan ini bukan merupakan pemberontakan terhadap Pemerintah Belanda atau India Belanda, karena pada 2 Maret 1942, Pemerintah India Belanda telah menyerah kepada Jepang, dan pada 2 Maret 1942 di kalijati, Letnan Jenderal ter Poorten, Panglima Tertinggi Tentara Belanda di India Belanda, mewakili Gugbernur Jenderal Jonkheer Tjarda van Stachenborg-Stachouwer, telah menandatangani dokumen menyerah tanpa syarat kepada Jepang, dan menyerahkan seluruh wilayah India Belanda kepada Jepang.
Juga bukan pemberontakan terhadapa Jepang, karena Je[pang telah menyatakan menyerah kepada Sekutu pada 15 agustus 1945.
Belanda ynag “merasa” masih memiliki Indonesia sebagai jajahan, berusaha untuk berkuasa kembali di Indonesia, yang telah menyatakan kemerdekaannya. Dalam upaya untuk kembali menjadi penguasa di Indonesia, Belanda melobi –dan berhasil- Pemerintah Inggris, yang kemudian menghasilkan Civil Affairs Agreement (CAA). Pemerintah Inggris memerintahkan militernya untuk melaksanakan perjanjian tersebut dan “menyelipkan hidden agenda (agenda rahasia)” ini dalam tugas Allied Forces (Tentara Sekutu). Untuk pelaksanaan hidden agenda tersebut, 3 divisi tentara Inggris dibantu oleh 2 divisi tentara Australia di bawah pimpinan Letnan Jenderal Leslie “Ming the merciless” Morshead.
Pimpinan militer Inggris tidak dapat segera mengirimkan divisi-divisi yang telah ditentukan. Karena belum dapat memberangkatkan pasukan ke Jawa. Tanggal 8 September 1945, Inggris menerjunkan beberapa perwira marinir dengan parasut di bawah pimpinan Mayor Alan G. Greenhalgh di Jakarta. Pada hari itu, Kapten Nakamura memberikan informasi kepada Letnan Kolonel van der Post, bahwa 4 orang parasutis telah mendarat di bandar udara Kemayoran dan langsung dibawa ke Hotel des Indes. Selain Mayor Greenhalgh, ada seorang perwira Belanda, Letnan Mr. S. J. Baron van Tuyll van Seroskerken, dua orang prajurit Inggris dan tiga orang prajurit Belanda. Mereka adalah staf komunikasi yang membawa peralatan baru yang canggih untuk berkomunikasi dengan dunia luar. Peralatan tersebut segera dipasang di markas Letkol van der Post. Pada petang hari itu juga telah terjalin kontak langsung dengan Markas Besar Tentara Sekutu Komando Asia Tenggara di Kandy, Sri Langka.
Mayor Alan Greenhalgh dan Letnan Mr. S. J. Baron van Tuyll van Seroskerken mewakili suatu organisasi yang baru dibentuk, dengan nama lengkapnya adalah The Combined Services Organization for the Relief of all Prisoners-of-War and Civilian Internees. Di seluruh Asia Tenggara, organisasi ini kemudian dikenal sebagaiRecovery of Allied Prisoners of War and Internees - RAPWI.
Tanggal 15 September 1945, Rear Admiral Sir Wilfred R. Patterson dengan kapal perang H.M.S. Cumberland berlabuh di Jakarta. Petinggi Belanda yang ikut bersama Patterson di kapal tersebut adalah van der Plas, mantan Gubernur Jawa Timur sewaktu pemerintahan India Belanda, yang kini mewakili NICA dan sejumlah orang Belanda, yang merupakan pejabat tinggi Civil Affairs. Letkol van der Post, Mayor Greenhalgh dan Letnan van Tuyll segera ke pelabuhan untuk menemui mereka di atas kapal.
Yang pertama dilakukan oleh van der Post adalah menyampaikan laporan yang telah disiapkannya –terutama mengenai perkembangan di Indonesia sejak Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945- kepada Admiral Patterson, dengan diiringi permohonan agar laporan tertulis tersebut dibaca, sebelum dia (van der Post) memberikan laporan (lisan) dan menjawab pertanyaan-pertanyaan. Patterson terlihat sangat terkejut membaca laporan tertulis dari van der Post tersebut, sedangkan orang-orang Belanda tidak percaya dengan hal-hal yang disampaikan oleh van der Post. Mengenai hal ini, dalam laporannya kemudian hari, van der Post menulis:
“ My intelligence report astonished even the Admiral, but the Dutch contingent of high ranking civil affairs officers and representatives of other services were filled with disbelief. I in my turn was astonished that their ignorance of what had happening in Java, not just since their capitulation but over the past three weeks, was even greater than I in my most extreme anxieties had presupposed from listening to their radios…
… for the moment Mr. van der Plas suppressed his eagerness to go ashore and hoist the Dutch flag over the government buildings in Batavia…”
Memang tidak bisa diharapkan, bahwa orang-orang Belanda itu bangun dari mimpi panjang selama tiga setengah tahun, dan “Tuan Besar” van der Plas merasa sangat wajar untuk mengibarkan kembali bendera si tiga warna, dan sudah barang tentu dia ingin memangku jabatannya kembali sebagai Gubernur Jawa Timur. Rencana pengibaran bendera itu tentu saja ditentang oleh van der Post. Admiral Patterson kemudian mengangkat Letnan Kolonel Laurens van der Post menjadi Gubernur Militer AFNEI untuk Batavia (Jakarta). Pada hari-hari berikutnya, dengan pesawat terbang dari Singapura, datang sejumlah perwira Belanda di bawah pimpinan Kolonel Ir. D.L. Asjes, yang akan diperbantukan ke pusat RAPWI.
Pada 18 September 1945, beberapa staf RAPWI diterjunkan dengan payung di Gunungsari, Surabaya. Mereka ditugaskan untuk berhubungan dengan para interniran Belanda dan Sekutu. Oleh Jepang, tim RAPWI ditempatkan di Hotel Yamato (Oranje), di Tunjungan, tanpa persetujuan pimpinan Republik Indonesia.
Pendaratan satu batalyon Seaforth Highlanders (Batalyon Seaforth Highlanders termasuk resimen yang lebih dari 200 tahun lalu, telah mengharumkan namanya dalam operasi melawan Perancis dan Perancis- Belanda di Jawa di masa kepemimpinan Thomas Stamford Raffles) dari Divisi 23 tentara Inggris di Jakarta, baru dilakukan pada 30 September 1945, 43 (!) hari setelah pernyataan kemerdekaan Republik Indonesia. Berangsur-angsur Inggris mengirim pasukan dari Divisi 23 ke Bogor, Bandung dan Semarang. Letnan Jenderal Sir Philip Christison, yang sebelumnya adalah Panglima tentara Inggris di Arakan, Birma, tiba di Jakarta pada 30 September 1945, dengan pesawat pembom Mitchell. Sir Philip Christison, Panglima the 15 British Army Corps, memulai karir militernya sebagai dokter tentara, semasa Perang Dunia I. Christison yang oleh teman-teman akrabnya dipanggil “Christie”, diangkat menjadi Panglima AFNEI (Allied Forces in the Netherlands East Indies) pada 27 September 1945.
Setelah memperoleh informasi dari perwira-perwira Inggris yang berada di Jakarta, Lord Mountbatten mengemukakan kebijakan baru yang akan dilakukannya di Indonesia, yaitu:
“Gagasan kami satu-satunya adalah membuat Belanda dan Indonesia saling berciuman dan kemudian mengundurkan diri.”
Kebijakan ini jelas sangat berbeda dengan surat perintah yang telah dikeluarkannya pada 2 September 1945, sehari setelah kedatangan van Mook dan van der Plas di Markas Besarnya di Kandy, Sri Lanka. Nampaknya sejalan dengan kebijakan baru dari Mountbatten tersebut, sebelum berangkat ke Jakarta, di Singapura Letnan Jenderal Christison membuat pernyataan di muka pers yang kemudian menjadi sangat kontroversial. Anderson mencatat:
…..Christison mengatakan, bahwa Inggris mempunyai tiga tujuan di Indonesia:
- untuk melindungi dan mengungsikan tawanan-tawanan perang Sekutu dan tawanan-tawanan lainnya;
- melucuti dan mengembalikan Jepang, dan
- memelihara hukum dan ketertiban.
Angkatan Darat Jepang ke 16 akan bertanggung jawab atas keamanan dalam negeri di daerah-daerah yang tidak diduduki Sekutu, sampai
“pengaturan-pengaturan tercapai bagi pejabat-pejabat setempat untuk mengambilalihnya. Kemudian Jepang akan dilucuti …
…Inggris tidak mempunyai maksud untuk mencampuri urusan-urusan dalam negeri, melainkan hanya untuk menjamin hukum dan ketertiban.”
Christison juga meminta kepada pemimpin-pemimpin Indonesia supaya memperlakukan dia dan pasukannya sebagai tamu-tamu. Selanjutnya dia juga mengatakan: “Pasukan Inggris tidak akan bergerak di luar daerah-daerah pendudukan yang telah ditetapkan, yaitu Batavia (Jakarta), Surabaya, Medan dan Padang, untuk maksud apapun……
Tentu pernyataan ini –yang membesarkan hati pimpinan Republik Indonesia-menggoncangkan para petinggi Belanda, baik yang di negeri Belanda, maupun yang telah berada di Indonesia karena mereka menilai, dengan pernyataan Christison tersebut, Inggris bermaksud tidak akan memenuhi perjanjian Chequers dan hasil keputusan Konferensi Yalta serta Deklarasi Potsdam, mengenai pengembalian situasi kepada status quo di Asia, seperti sebelum invasi Jepang tahun 1942. Reaksi keras dari Pemerintah Belanda membuat Pemerintah Inggris mengeluarkan pernyataan, bahwa Inggris tidak bermaksud untuk keluar dari perjanjian –Civil Affairs Agreement- yang telah ditandatangani di Chequers tanggal 24 Agustus 1945.
Atas desakan pihak Belanda, Inggris menyerahkan wewenang atas Kalimantan serta kepulauan lain di bagian timur Indonesia -kecuali Bali dan Lombok- kepada tentara Australia (Meelhuijsen, 2000, hlm. 31).
Mengenai sepak-terjang tentara Australia dalam membantu Belanda “membersihkan” wilayah timur Indonesia, Anthony Reid mencatat (5):
“Tentara Australia ini sebelumnya termasuk Komando Wilayah Pasifik Baratdaya yang kemudian dibubarkan, dengan tugas baru yang diberikan kepada Letnan Jenderal MacArthur. Kini mereka diberi wewenang atas Kalimantan, Sulawesi, dan semua pulau di bagian Timur, kecuali Bali dan Lombok. Mereka mempunyai kekuatan pasukan yang besar di Borneo Inggris, Kalimantan, Irian dan markas besar mereka di Morotai. Dengan demikian, mereka dapat bergerak lebih cepat daripada tentara Inggris. Pendaratan tentara Australia,
- di Kupang tanggal 11 September 1945,
- di Banjarmasin tanggal 17 September,
- di Makasar tanggal 21 September,
- di Ambon tanggal 22 September,
- di Manado tanggal 2 Oktober,
- di Pontianak tanggal 16 Oktober.
Pasukan Australia datang bersama kesatuan-kesatuan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) di sebagian besar kota-kota itu sebelum adanya suatu gerakan Republik yang terorganisasi dengan baik. Oleh karena itu, mereka relatif tidak banyak menghadapi kesulitan untuk melaksanakan rencana semula guna mempersiapkan pengambilalihan pemerintahan oleh pihak Belanda.”
Perlawanan hebat mereka hadapi terus di Sulawesi Selatan. Belanda masuk kembali ke Sulawesi Selatan dengan membonceng tentara Australia pada pertengahan bulan September 1945. Pada bulan Oktober 1945 Belanda dapat membentuk kembali KNIL yang terdiri dari beberapa ratus orang tentara.
Sementara itu, pada bulan Juni/Juli 12946, timbul konflik internal Republik Indonesia, dan Belanda memanfaatkan situasi ini dengan memperkuat posisi mereka di daerah-daerah di luar Jawa dan Sumatera, yang telah “dibersihkan” oleh tentara Australia. Pada 2 Maret 1946, Belanda mendaratkan sekitar 2.000 tentara di Bali.
Pada 3 Juli 1946, terjadi peristiwa ini kemudian dikenal sebagai “Kudeta 3 Juli”, di mana ratusan tokoh oposisi Indonesia ditangkap dan dimasukkan ke penjara.
Tentara Pendudukan Sekutu dan Belanda nampaknya memanfaatkan kemelut internal Republik dan melakukan langkah yang sangat merugikan posisi Republik. Pada 13 Juli 1946 secara resmi pimpinan tentara Australia “menyerahkan” wewenang pemerintahan atas Kalimantan, Sulawesi serta daerah-daerah lain di luar Jawa dan Sumatera kepada NICA (Netherlands Indies Civil Administration).
Belanda tidak berlama-lama menunggu, dan pada 15 – 25 Juli 1946, van Mook menggelar “Konferensi Malino” di sebelah utara Makassar, yang dihadiri oleh 39 orang “wakil-wakil” dari Indonesia Timur Indonesia pilihan mereka. Dengan demikian Belanda dapat lebih leluasa menyusun strategi untuk membangun kekuasaannya di daerah-daerah di luar pulau Jawa dan Sumatera.
Setelah menerima “pelimpahan” kekuasaan pemerintahan dari tentara Australia, tentara Belanda mengadakan pembersihan terhadap pendukung Republik. Raja-Raja atau tokoh masyarakat yang berpihak ke Republik ditangkap atau disingkirkan. Dr. Sam Ratu Langie, yang oleh Pemerintah Republik Indonesia diangkat menjadi Gubernur Sulawesi pertama, ditangkap dan kemudian dibuang ke Serui, Papua Barat dan baru dibebaskan bulan Maret 1948. Para pendukung Republik, seperti Datu Luwu dan Arumpone dari Bone juga dibuang, bahkan Datu Suppa dibunuh.
Para pemuda pendukung Republik membentuk berbagai laskar dan pasukan. Salah seorang pemuda Sulawesi, Robert Wolter Mongisidi, kelahiran Mamalayang, Manado 14 Februari 1925, bergabung dengan Laskar Pemberontak Rakyat Sulawesi Selatan (LAPRIS) dan pada 27 Oktober 1945 memimpin serangan terhadap pos tentara Belanda di Makassar. Sejak itu Mongisidi terus mengadakan perlawanan, hingga tertangkapnya pada 28 Februari 1947, dan –di tengah-tengah perundingan Konferensi Meja Bunda di Den Haag, Belanda- dieksekusi pada bulan September 1949.
Belanda terus memperkuat tentaranya di Indonesia hingga mencapai sekitar 80.000 orang, dengan persenjataan yang jauh lebih hebat dan moderen, dibandingkan dengan yang dimiliki oleh tentara Indonesia, sehingga ketika Inggris menarik seluruh tentaranya dari Jawa dan Sumatera pada 30 November 1946, tentara Inggris dan Australia telah diganti oleh tentara Belanda dengan kekuatan yang sama. Suatu kerjasama yang sempurna, sesuai hasil Konferensi Yalta, Deklarasi Potsdam dan perjanjian Chequers.
Demikian “jasa” Australia dan Inggris dalam membantu Belanda menduduki wilayah-wilayah tersebut, karena pada waktu itu Belanda belum memiliki satuan bersenjata yang terorganisir; yang ada hanya bekas tawanan Jepang yang kondisi fisiknya belum mampu untuk bertempur.
Politik Australia terhadap Republik Indonesia baru berubah tahun 1948, setelah terlihat nyata, bahwa Belanda tidak mampu mempertahankan Indonesia sebagai jajahan. Australia memperhitungkan, bahwa apabila mereka meneruskan dukungan terhadap Belanda, dan kemudian ternyata Indonesia dapat menjadi negara besar yang merdeka dan berdaulat, Australia akan mendapat kesulitan menjalin hubungan bertetangga yang baik. Berdasarkan pertimbangan inilah maka terjadi perubahan sikap Australia. Namun tidak dapat dipungkiri, bahwa apabila Australia sejak semula tidak mendukung Belanda, Belanda tidak dapat menguasai seluruh wilayah Indonesia Timur, dan tak perlu terjadi pembantaian puluhan ribu rakyat Indonesia, terutama di Sulawesi Selatan.
sumber:http://batarahutagalung.blogspot.com/