Oleh H. ROSIHAN ANWAR
ORANG Indonesia sekarang tidak ingat lagi atau tidak tahu pamflet historis yang ditulis oleh Sutan Sjahrir, disiarkan tanggal 10 November 1945 –lima hari sebelum diangkat jadi perdana menteri pertama Republik Indonesia. Buku kecil berjudul “Perdjoeangan Kita” (PK) berisi gambaran tentang keadaan bangsa Indonesia pada akhir pendudukan Jepang selama 3,5 tahun dan pada awal zaman revolusi perjuangan kemerdekaan. Sjahrir waktu itu berusia 36 tahun. Pamfletnya terbit bertepatan dengan meletusnya pertemuan di Surabaya antara pemuda Indonesia dengan tentara Inggris. Dalam “Perdjoeangan Kita” Sjahrir melukiskan kekacauan yang menjalar terus, setelah kekuasaan Jepang runtuh dan pemerintah Republik Indonesia yang baru diproklamasikan masih lemah. Terjadi pembunuhan bangsa asing seperti Belanda, Indo, Tionghoa, juga bangsa sendiri Ambon, Manado. Terjadi perampokan dan penggedoran yang dapat dimengerti bila mengingat kemiskinan dan kegelisahan rakyat akibat penindasan militer Jepang. Dalam perjuangan itu pemuda ikut serta memenuhi panggilan kebangsaan. Bagaimana penilaian Sjahrir terhadap mereka? “Pemuda kita itu umumnya hanya mempunyai kecakapan untuk menjadi serdadu yaitu berbaris, menerima perintah menyerang, menyerbu, dan berjibaku dan tidak pernah diajar memimpin. Oleh karena itu dia tidak berpengetahuan lain. Cara dia mengadakan propaganda dan agitasi pada rakyat banyak itu seperti dilihatnya dan diajarnya dari Jepang yaitu fasilitas. Sangat menyedihkan keadaan jiwa pemuda kita,” tulis Sjahrir. Dari sejarah kita ketahui Jepang melatih pemuda dalam barisan pemuda Seinendan, barisan Kepolisian Keiboodan, tentara pembela tanah air (Peta), pasukan pembantu tentara Jepang (Heijoo). Betul, pemuda mendapat kemampuan dan pengalaman militer, tahu mempergunakan senjata, tapi sebagai gejala sampingan dia memperoleh tabiat dan sikap fasis.
Sjahrir mengatakan, “Di seluruh kehidupan rakyat kita, terutama di desa, alam kehidupan serta pikiran orang masih feodal. Penjajahan Belanda berpegang pada segala sisa-sisa feodalisme itu untuk menahan kemajuan sejarah bangsa kita. Penjajahan Belanda itu mencari kekuatannya dengan perkawinan ratio-modern dengan feodalisme Indonesia, menjadi akhirnya contoh fasisme yang terutama di dunia ini. Fasisme di tanah jajahan jauh mendahului fasisme Hitler ataupun Mussolini. Sebelum Hitler mengadakan kamp konsentrasi Buchenwald atau Belzen, Bovan-Digul sudah lebih dahulu diadakan. Oleh karena itu, maka pergerakan rakyat kita dari sejak mula di dalam menentang penjajahan asing sebenarnya menentang feodal-birokrasi, dan akhirnya otokrasi dan fasisme jajahan Belanda.”Sikap fasis Pendapat yang menimbulkan kebencian terhadap Sjahrir dari pihak politisi ialah “bahwa revolusi kita harus dipimpin oleh golongan demokratis yang revolusioner dan bukan oleh golongan nasionalistis yang pernah membudak kepada fasis-fasis lain, fasis kolonial Belanda atau fasis militer Jepang. Orang-orang ini harus dianggap sebagai pengkhianat perjuangan. Sekalian politieke collaboratoren dengan fasis Jepang harus dipandang sebagai fasis sendiri”. Akibat pendapat tadi beberapa menteri kabinet Soekarno seperti Mr. Ahmad Subardjo, Mr. Iwa Kusumasumantri, Abikusno mengambil sikap oposisi frontal terhadap PM Sjahrir. Wartawan yang meliput sidang KNIP (Komite Nasio-nal Indonesia Pusat) yang berfungsi sebagai parlemen bulan November 1945 di mana beleid politik PM Sjahrir dibicarakan tentu ingat bagaimana Abikusno Tjokrosuyoso mantan Menteri Pekerjaan Umum “mengamuk” dalam ruangan bekas AMS Salemba Batavia, hanya karena dianggap sebagai kaki tangan Jepang. Menurut Sjahrir, gerakan kebangsaan yang memabukkan dirinya dengan nafsu membenci bangsa-bangsa asing untuk mendapat kekuatan niscaya pada akhirnya akan berhadapan dengan seluruh dunia dan kemanusiaan. Nafsu kebangsaan yang pada mulanya dapat merupakan suatu kekuatan itu, mesti tiba pada satu jalan buntu dan akhirnya mencekik dirinya sendiri dalam suasana jibaku. Kekuatan yang kita cari adalah pada pengorbanan perasaan keadilan dan kemanusiaan. Hanya semangat kebangsaan yang dipikul oleh perasaan keadilan dan kemanusiaan dapat mengantar kita maju di dalam sejarah dunia. Nyata pula bahwa kaum pemuda, terutama yang terpelajar yang sekarang berkobar-kobar dengan semangat kebangsaan tak akan dapat menjalankan terus kewajibannya sebagai perintis, jika semangat kebangsaannya itu tidak diisi dengan semangat kerakyatan dan semangat kemasyarakatan, demikian tulis Sjahrir pada tahun 1945. Kendati itu cerita dan masalah dari 60 tahun yang lampau, namun pokok-pokok pikiran yang diutarakan oleh Sjahrir tadi masih relevan sebagai bahan masukan untuk memahami dan menilai keadaan kita dewasa ini. Peringatan Sjahrir terhadap bahaya dan ancaman fasisme, keprihatinannya terhadap sikap dan mentalitas fasis yang berkembang di kalangan pemuda masa itu, tidak boleh kita abaikan begitu saja. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa fasis berarti penganut fasisme, dan kata fasisme bermakna prinsip atau paham golongan nasionalis ekstrem kanan yang menganjurkan pemerintahan otoriter. Tidak usahlah kita menggunakan istilah fasis melulu dalam kaitan dengan suatu paham atau prinsip serta sistem politik tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari orang bisa berkata “Kamu fasis”, dan yang dimaksudnya ialah “Kamu tidak demokratis, tukang paksa, abang kuasa, mau menang sendiri, penindas.” Dalam hal ini kata “fasis” telah memperoleh perluasan makna, melampaui makna orisinalnya, namun intisari pengertiannya masih ada.
Berbasis atau mati
Negeri Nazi-Jerman tahun 1930-an adalah contoh tempat sikap fasis dipraktikkan dengan gencar. Pemuda Hitler dan Pasukan Kemeja Coklat yang bertindak sebagai tukang pukul memaksa rakyat untuk tunduk dan patuh pada perintah. Semboyan mereka ialah “Marschieren oder Krepieren”, artinya berbaris atau mati. Kaum fasis selalu melakukan kekerasan terhadap orang atau golongan yang tidak mereka sukai. Mengapa kita teringat buku kecil Sjahrir tahun 1945 “Perdjoeangan Kita” yang menyebutkan soal fasis? Karena pada hakikatnya hal itu 60 tahun kemudian belum hapus dalam masyarakat kita. Tabiat dan sikap fasis adalah salah satu warisan dari zaman dulu. Kalau kita baca berita tentang Farid Faqih seorang aktivis sosial dari sebuah LSM datang ke Aceh turut memberikan bantuan kepada para korban tsunami telah ditahan oleh militer karena dituduh mengambil barang milik orang lain, lalu digebuk ramai-ramai oleh perwira dan perjuritnya, apakah kejadian itu suatu manifestasi kemarahan dan letupan emosional semata-mata di pihak militer bersangkutan? Menjelang berakhirnya rezim Orde Baru Soeharto, tatkala terjadi demo-demo mahasiswa dan rakyat terhadap pemerintah, maka terdengar berita tentang penculikan-penculikan yang dilakukan oleh sekumpulan militer yang mendapat didikan khusus memadamkan huru hara di kota-kota. Ternyata korban banyak yang hilang, tidak diketahui lagi selama-selamanya, dan mereka yang bisa keluar bercerita tentang siksaan-siksaan badan yang mereka alami. Bukankah ini juga manifestasi sikap fasis?
Kita tidak boleh menutup mata terhadap peristiwa kekerasan. Kita harus jujur mengakui sikap fasis adalah sebuah tabiat yang kita warisi. Kalau sudah mengakui itu, maka usaha kita berikut ialah bersama-sama menghilangkan segala yang bersifat fasis, dan belajar melaksanakan kehidupan yang beradab dan berperikemanusiaan.***
Penulis adalah , Wartawan senior.
Sumber : Pikiran Rakyat, 09 Maret 2005
Kamis, 26 Februari 2009
Kamis, 19 Februari 2009
Soedarpo Sastrosatomo dan Kehampaan Ideologi
OlehH Rosihan Anwar
Dalam Sinar Harapan Rabu, 24 Oktober 2007
Dalam Sinar Harapan Rabu, 24 Oktober 2007
Soedarpo Sastrosatomo (1920-2007) yang meninggal dunia di Jakarta tanggal 22 Oktober 2007 dan dikebumikan di Tanah Kusir sebelah makam Bung Hatta, dikenal publik sebagai seorang pengusaha pelayaran dan perkapalan. Pada tahun 1964 dia mendirikan perusahaan pelayaran Samudera Indonesia yang dibinanya sampai menjadi besar, kendati banyak kendala politik dan ekonomi yang dihadapinya. Di zaman Orde Lama orang-orang kalangan PKI (Partai Komunis Indonesia) membuat kehidupannya tidak nyaman, lantaran dia dikenal sebagai orang PSI (Partai Sosialis Indonesia) pimpinan mantan PM Sutan Sjahrir. Di zaman Orde Baru dia mendapat tekanan politik dari Jenderal Ali Moertopo, Kepala Intel Presiden Soeharto Opsus (Operasi Khusus); dan perusahaannya digerogoti oleh anak-anak Soeharto yang mulai berekspansi mendirikan kerajaan bisnis aneka ragam, termasuk pelayaran, sehingga Samudera Indonesia terjepit dan lahan rezekinya diambil bagitu saja. Ditahan dan masuk penjara pun tak asing bagi Dirut Samudera Indonesia pada masa itu. Kendati begitu dia berhasil mengatasi badai kesulitan yang menerpa dirinya. Bendera Samudera Indonesia bisa berkibar terus. Dan tatkala ruang gerak Samudera Indonesia dibuat semakin sempit oleh pihak-pihak yang mencemburuinya, Soedarpo mengambil langkah yang dalam jangka waktu panjang jauh memandang ke masa depan. Dipersulit beroperasi di lautan sekitar: Nusantara Indonesia, dia melakukan “lompatan” keluar, lalu mendirikan perusahaan cabang di Singapura yang didaftarkan di sana dan bertindak sebagai perusahaan otonom untuk melaksanakan feeder-service, angkutan kargo barang ke berbagai pelabuhan di Asia, beroperasi antara lain dari Singapura ke Mumbay di India, Dhubai di Teluk, dan Shanghai di Asia Timur. Samudera Shipping Lines (SSL) yang didirikan Soedarpo di Singapura tahun 1993 yang melayani pelabuhan di Indonesia dan pelabuhan di ASEAN, kini merupakan perusahaan yang sehat. Prestasi Soedarpo diakui pihak internasional, sehingga pada tanggal 28 September 2000 dia dianugerahi penghargaan Maritime Asia Awards 2000, lalu dilantiklah dia di Bangsal Kemasyhuran sebagai Chairman of Indonesia’s Samudera Group ke dalam Maritime Asia Hall of Fame. Citra umum atau public image Soedarpo adalah sebagai pengusaha yang sukses di bidang pelayaran. Dia dijuluki sebagai “Raja Kapal” di Indonesia.Akan tetapi itu baru satu segi dari pribadi Soedarpo. Dia juga dikenal sebagai pejuang pada awal revolusi untuk menegakkan kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945. Dia termasuk tangan kanan PM Sjahrir ketika mengurus penerangan luar negeri Kementerian Penerangan yang melayani keperluan para koresponden asing, yang mulai berdatangan ke Jakarta meliput revolusi.DiplomatDia dikirim Sjahrir bertugas di perwakilan Indonesia di New York tahun 1948-50 dan bersama LN Palar, Dr Soemitro Djojohadikusumo, Soedjatmoko dia melawan politik Belanda di forum Dewan Keamanan PBB untuk mengembalikan penjajahan di Indonesia. Sebagai diplomat Soedarpo cukup berhasil. Soedarpo karena jadi anggota PSI (Partai Sosialis Indonesia) pimpinan Sutan Sjahrir, tak boleh tidak menaruh perhatian terhadap soal-soal politik. Dia tidak menyembunyikan fakta bahwa secara ideologis dia seorang sosialis, atau lebih lengkap sebutannya sabagai sosialis-demokrasi. Dia memberikan dana dan pikiran untuk mengembangkan kader-kader sosialis. Oleh karena itu, dia kesal ketika Presiden Soekarno tahun 1960 melarang Masyumi dan PSI. Sebab usaha mengakarkan ideologi sosialisme terkapar adanya.Dengan prihatin dia mengamati bagaimana di zaman Orde Baru Soeharto, para perwira TNI yang bertugas sebagai petatar P-4 selalu menekankan bahwa “musuh kita di sebelah kiri adalah PKI, dan di sebelah kanan adalah Masyumi-PSI”. Dia meyakini sedari semula bahwa politik Soeharto memicu pertumbuhan ekonomi, menempuh segala cara untuk mencapai target, bersikap pragmatis dan oportunistis. Sedangkan perhatian tidak diberikan bagi perlunya bangsa mempunyai sebuah ideologi, ini pasti pada suatu hari akan membawa pada kehancuran. Hal itu telah kita saksikan dan alami. Kehampaan atau vakum ideologi telah mengakibatkan Indonesia kehilangan arah, tujuan, dan pegangan. Indonesia tidak saja terpuruk dalam hal ekonomi, tapi juga kehilangan martabat dan kehormatan diri akibat kehampaan ideologi.Soedarpo ingin sekali agar Indonesia punya ideologi yang jelas dan cocok. Baginya itu adalah sosialis-demokrat. Oleh karena itu di waktu belakangan ini dalam lingkungan terbatas dan privat dia selalu memberi dorongan, agar muncul generasi baru yang tegas berkata, “Stop keadaan negeri ini tidak punya ideologi”. Janganlah malu-malu menganjurkan, mari menyatakan kita adalah kaum sosialis-demokrat. Barulah dengan begitu kita punya visi dan misi yang mantap ke masa mandatang. Kini Soedarpo Sastrosatomo sudah tak ada lagi. Tapi kita bisa berusaha melaksanakan cita-citanya di bidang ideologi.
Penulis adalah wartawan senior.
Sabtu, 07 Februari 2009
JOHN F. KENNEDY 1917-1963
John Fitzgerald Kennedy lahir tahun 1917 di Brookline, Massachusetts. Dia jadi Presiden Amerika Serikat mulai 20 Januari 1961 sampai 22 Nopember 1963 ketika dia terbunuh di Dallas, Texas. Saya akan menyisihkan sebagian besar data biografisnya, karena soal itu sudah sama diketahui dan karena umumnya politik dan kegiatan pribadi Kennedy relevansinya sedikit dengan hadirnya dia dalam daftar buku ini.
Seribu tahun yang akan datang, baik "Peace Corps" atau "Alliance for Progress" maupun peristiwa "Teluk Babi" tidak akan diingat orang. Begitu juga tindakan politik Kennedy di bidang pajak dan perundang-undangan hak-hak sipil. John F. Kennedy dicantumkan dalam daftar buku ini hanya karena satu alasan saja: dialah orang yang bertanggung jawab terhadap pendirian "Program Ruang Angkasa, Apollo." Kalaulah manusia tidak melontarkan benda kecil di sela-sela waktu yang senantiasa sibuk, kita bisa pastikan bahwa bahkan 5000 tahun yang akan datang perjalanan kita ke bulan masih dianggap suatu peristiwa luar biasa, satu kejadian penting dalam sejarah kemanusiaan.
Saya akan perbincangkan arti penting program ke bulan lebih lanjut. Pertama, ijinkan saya menghubungkan masalah ini dengan suatu pertanyaan, apakah betul John F. Kennedy orang yang paling besar peranannya dalam perjalanan ke bulan ini. Apakah bukannya Neil Amstrong atau Edwin Aldrin, orang pertama yang sesungguhnya menginjakkan kaki di bulan? Jika kita meletakkan nama orang dalam daftar buku ini atas dasar kemasyhurannya dalam jangka panjang, mungkin mestinya begitu, karena menurut dugaan saya Neil Amstrong lebih mirip akan dikenang orang 5000 tahun yang akan datang dibanding John F. Kennedy. Tetapi dari sudut pengaruh, Neil Amstrong dan Edwin Aldrin samasekali tidak penting. Andaikata oleh sebab ini atau sebab itu kedua orang itu mati dua bulan sebelum peluncuran Apollo 11, akan ada selusin astronot yang terlatih baik dan berkemampuan tinggi yang siap menggantikannya meluncur ke bulan.
Ataukah penghargaan harus kita berikan kepada Wernher von Braun atau ilmuwan lain atau insinyur lain yang sudah beri sumbangan pikiran dan tenaga yang memungkinkan terjadinya penjelajahan ruang angkasa itu? Tak ragu lagi Wernher von Braun punya saham lebih besar dalam hal memajukan penggalian misteri ruang angkasa (seperti juga dilakukan pendahulunya semisal Konstantin Tsiolkovsky, Robert H. Goddard dan Hermann Oberth). Tetapi, sekali keputusan politik telah diambil untuk pelaksanaan proyek Apollo, tak seorang ilmuwan pun --tak juga kelompok mereka yang terdiri dari ahli-ahli jempolan-- mampu menerobos masalah yang rumit ini. Pendobrakan kerumitan perjalanan ke bulan itu bukanlah semata-mata kemajuan ilmiah, melainkan suatu keputusan politik. Politiklah yang menyalakan lampu kuning dan menyediakan 24 milyar dolar untuk proyek ini.
Tanggal 20 Juli 1969 astronot Apollo 11 meninggalkan jejak telapak kaki di permukaan bulan, memenuhi janji Kennedy bulan Mei 1961 akan mendaratkan kendaraan ruang angkasa bermanusia di bulan "sebelum akhir dekade ini"
Nah, bagaimana soal keputusan politik itu? Apakah cepat atau lambat keputusan itu akan datang juga walau tanpa John F. Kennedy? Saya duga keras --meskipun hal ini belum begitu pasti-- pada suatu saat suatu pemerintahan akan ambil keputusan membiayai perjalanan manusia ke bulan. Tentu saja, John F. Kennedy tidak memaksakan program ini bilamana rakyat keberatan.
Di lain pihak, tak ada tekanan dan desakan rakyat terhadap pelaksanaan proyek yang berbiaya bukan alang kepalang besarnya. Apabila di tahun 1959 atau di tahun 1960, Kongres Amerika Serikat mengesahkan program Apollo dan menyediakan dana untuk itu, dan apabila undang-undang itu telah diveto oleh Presiden Eisenhower, bisalah dibilang bahwa Kennedy sekedar terbawa oleh arus opini publik. Tetapi, fakta yang ada menunjukkan kebalikannya: banyak orang Amerika menghendaki adanya program ruang angkasa, tetapi tak ada ribut-ribut dalam masyarakat yang keberatan terhadap suatu program besar-besaran. Bahkan sesudah Apollo 11 sukses, tak ada pergunjingan publik yang berarti terhadap masalah apakah program itu memang bermanfaat dengan ongkos sebesar itu. Sejak tahun 1969, tentu saja, anggaran NASA merosot deras sekali.
Karena itu gamblang sekali, adalah karena kepemimpinan John F. Kennedy yang menyebabkan program Apollo itu bisa berjalan. Kennedylah yang pada tanggal 1 Mei 1961 berjanji bahwa Amerika Serikat akan mendaratkan kendaraan ruang angkasa bermuatan manusia di bulan "sebelum akhir dekade ini." Adalah Kennedy yang peroleh dana dari Kongres, dan di bawah Kennedy-lah program itu dirancang. Orang bisa saja yakin bahwa program ke bulan akan terjadi cepat atau lambat (sesuatu yang sebetulnya belum pasti); tetapi yang sudah jelas Kennedy-lah yang melakukannya.
Beberapa orang, tentu saja, masih merasa bahwa proyek Apollo hanyalah sekedar sok-sok-an saja dan tak punya arti penting. Selama ini tidak tampak gelagat memperingati tanggal 20 Juli 1969 sebagai hari bersejarah, misalnya hari nasional. Sebaliknya, kita pun tahu meskipun hari Colombus tidak diperingati di abad ke-16, dia diperingati sekarang ini sebagai tanda terbitnya fajar jaman baru.
Bahkan, jika proyek Apollo tak pernah diteruskan, toh masih akan dikenang terus sebagai hasil karya terbesar dalam perpacuan manusia mencapai prestasi tertinggi. Tetapi, saya kira, program Apollo akan diteruskan dan perjalanan ke ruang angkasa akan memegang peranan lebih besar di masa depan daripada sebelumnya. Jika demikian halnya, anak cucu kita akan merasa bahwa perjalanan Apollo 11, seperti halnya perjalanan Colombus menyeberangi Samudera Atlantik, merupakan satu titik tolak dari seluruh era baru dalam sejarah manusia.
Seribu tahun yang akan datang, baik "Peace Corps" atau "Alliance for Progress" maupun peristiwa "Teluk Babi" tidak akan diingat orang. Begitu juga tindakan politik Kennedy di bidang pajak dan perundang-undangan hak-hak sipil. John F. Kennedy dicantumkan dalam daftar buku ini hanya karena satu alasan saja: dialah orang yang bertanggung jawab terhadap pendirian "Program Ruang Angkasa, Apollo." Kalaulah manusia tidak melontarkan benda kecil di sela-sela waktu yang senantiasa sibuk, kita bisa pastikan bahwa bahkan 5000 tahun yang akan datang perjalanan kita ke bulan masih dianggap suatu peristiwa luar biasa, satu kejadian penting dalam sejarah kemanusiaan.
Saya akan perbincangkan arti penting program ke bulan lebih lanjut. Pertama, ijinkan saya menghubungkan masalah ini dengan suatu pertanyaan, apakah betul John F. Kennedy orang yang paling besar peranannya dalam perjalanan ke bulan ini. Apakah bukannya Neil Amstrong atau Edwin Aldrin, orang pertama yang sesungguhnya menginjakkan kaki di bulan? Jika kita meletakkan nama orang dalam daftar buku ini atas dasar kemasyhurannya dalam jangka panjang, mungkin mestinya begitu, karena menurut dugaan saya Neil Amstrong lebih mirip akan dikenang orang 5000 tahun yang akan datang dibanding John F. Kennedy. Tetapi dari sudut pengaruh, Neil Amstrong dan Edwin Aldrin samasekali tidak penting. Andaikata oleh sebab ini atau sebab itu kedua orang itu mati dua bulan sebelum peluncuran Apollo 11, akan ada selusin astronot yang terlatih baik dan berkemampuan tinggi yang siap menggantikannya meluncur ke bulan.
Ataukah penghargaan harus kita berikan kepada Wernher von Braun atau ilmuwan lain atau insinyur lain yang sudah beri sumbangan pikiran dan tenaga yang memungkinkan terjadinya penjelajahan ruang angkasa itu? Tak ragu lagi Wernher von Braun punya saham lebih besar dalam hal memajukan penggalian misteri ruang angkasa (seperti juga dilakukan pendahulunya semisal Konstantin Tsiolkovsky, Robert H. Goddard dan Hermann Oberth). Tetapi, sekali keputusan politik telah diambil untuk pelaksanaan proyek Apollo, tak seorang ilmuwan pun --tak juga kelompok mereka yang terdiri dari ahli-ahli jempolan-- mampu menerobos masalah yang rumit ini. Pendobrakan kerumitan perjalanan ke bulan itu bukanlah semata-mata kemajuan ilmiah, melainkan suatu keputusan politik. Politiklah yang menyalakan lampu kuning dan menyediakan 24 milyar dolar untuk proyek ini.
Tanggal 20 Juli 1969 astronot Apollo 11 meninggalkan jejak telapak kaki di permukaan bulan, memenuhi janji Kennedy bulan Mei 1961 akan mendaratkan kendaraan ruang angkasa bermanusia di bulan "sebelum akhir dekade ini"
Nah, bagaimana soal keputusan politik itu? Apakah cepat atau lambat keputusan itu akan datang juga walau tanpa John F. Kennedy? Saya duga keras --meskipun hal ini belum begitu pasti-- pada suatu saat suatu pemerintahan akan ambil keputusan membiayai perjalanan manusia ke bulan. Tentu saja, John F. Kennedy tidak memaksakan program ini bilamana rakyat keberatan.
Di lain pihak, tak ada tekanan dan desakan rakyat terhadap pelaksanaan proyek yang berbiaya bukan alang kepalang besarnya. Apabila di tahun 1959 atau di tahun 1960, Kongres Amerika Serikat mengesahkan program Apollo dan menyediakan dana untuk itu, dan apabila undang-undang itu telah diveto oleh Presiden Eisenhower, bisalah dibilang bahwa Kennedy sekedar terbawa oleh arus opini publik. Tetapi, fakta yang ada menunjukkan kebalikannya: banyak orang Amerika menghendaki adanya program ruang angkasa, tetapi tak ada ribut-ribut dalam masyarakat yang keberatan terhadap suatu program besar-besaran. Bahkan sesudah Apollo 11 sukses, tak ada pergunjingan publik yang berarti terhadap masalah apakah program itu memang bermanfaat dengan ongkos sebesar itu. Sejak tahun 1969, tentu saja, anggaran NASA merosot deras sekali.
Karena itu gamblang sekali, adalah karena kepemimpinan John F. Kennedy yang menyebabkan program Apollo itu bisa berjalan. Kennedylah yang pada tanggal 1 Mei 1961 berjanji bahwa Amerika Serikat akan mendaratkan kendaraan ruang angkasa bermuatan manusia di bulan "sebelum akhir dekade ini." Adalah Kennedy yang peroleh dana dari Kongres, dan di bawah Kennedy-lah program itu dirancang. Orang bisa saja yakin bahwa program ke bulan akan terjadi cepat atau lambat (sesuatu yang sebetulnya belum pasti); tetapi yang sudah jelas Kennedy-lah yang melakukannya.
Beberapa orang, tentu saja, masih merasa bahwa proyek Apollo hanyalah sekedar sok-sok-an saja dan tak punya arti penting. Selama ini tidak tampak gelagat memperingati tanggal 20 Juli 1969 sebagai hari bersejarah, misalnya hari nasional. Sebaliknya, kita pun tahu meskipun hari Colombus tidak diperingati di abad ke-16, dia diperingati sekarang ini sebagai tanda terbitnya fajar jaman baru.
Bahkan, jika proyek Apollo tak pernah diteruskan, toh masih akan dikenang terus sebagai hasil karya terbesar dalam perpacuan manusia mencapai prestasi tertinggi. Tetapi, saya kira, program Apollo akan diteruskan dan perjalanan ke ruang angkasa akan memegang peranan lebih besar di masa depan daripada sebelumnya. Jika demikian halnya, anak cucu kita akan merasa bahwa perjalanan Apollo 11, seperti halnya perjalanan Colombus menyeberangi Samudera Atlantik, merupakan satu titik tolak dari seluruh era baru dalam sejarah manusia.
Selasa, 03 Februari 2009
RIPRESS
RIPRESS adalah singkatan dari "Republik Indonesia Press" Sebuah badan penyiaran berita per Cq press seperti Kantor Berita "ANTARA" yang beroperasi di masa Perang Rakyat 1948/1949 atau yang lebih dikenal sebagai Clash II. RIPPRESS diselenggarakan oleh Perwira Penerangan MBKD bersama RRI dan PHB:GM II sejak tanggal 24 Mei 1949 sampai tanggal 3 Agustus 1949, setiap malam dari jam 19.00 - 20.00 (Waktu Djawa) dengah gelombang 14.4 KC. Berita-berita yang disiarkan dikutip 'dari laporan pertempuran, pengumuman/komunike Pemerintahan Militer RI, kawat/radiogram dari PDRI. Panglima Besar APRI, KSAP, PPTP, PPTS para Gubernur Militer (I-IV dan Sumatera Selatan) dan para Komandan Brigade/ pertempuran di Jawa dan Sumatera.
Kawat-kawat dan dokumen-dokumen lainnya itu diterima dan dikirim dari markas komando Gubernur Militer II di desa Balong, kecamatari Jenawi, Surakarta, di Gunung Lawu. Perlu diketahui bahwa di Balong ada 3 buah pemancar radio, yaitu dari RRI Pusat, PHB GM II dan RIPRESS.
PHB BM II mengirim dan menerima kawat/radiogram ke dan dari PDRI di Sumatera, dan para Gubernur Militer serta PHB Pusat di daerah Yogyakarta. Sebelum Wonosari diduduki Belanda pada tanggal 10 Maret 1949, hubungan tersebut diselenggarakan oleh pemancar PHB Pusat di Wonosari. Tetapi sejak tanggal 10 Maret 1949 pemancar PHB GM II di Balong mengoper tugas pemancar di Wonosari.
RRI mengadakan siaran-siaran dalam dan luar negeri tiap malam dari jam 19.00 - 20.00 dalam Bahasa Indonesia, Belanda, Inggris, dan Perancis, sedang RIPRESS menyiarkan Cq press ke luar negeri dan siarannya dapat diterima di Amerika Serikat dan Eropa.
Pada waktu Balong diserbu tentara Belanda pada tanggal 3 Agustus1949 semua pemancar radio masih dapat diselamatkan. Demikian juga sejumlah lebih dari 800 dokumen RIPRESS tidak jatuh di tangan Belanda dan sampai sekarang masih tersimpan baik-baik. Sebagian dari dokumen-dokumen tersebut dihimpun dalam bendel ini (salinan)/ foto copy dari aslinya. Dari dokumen-dokumen ini dapat diketahui, bahwa Pemerintah RI selama Clash II masih tetap menjalankan tugasnya sebagai Pemerintahan Negara yang Berdaulat, Angkatan Perang RI masih lengkap, utuh mampu melakukan perlawanan sebagai Angkatan Perang yang terorganisasi dan secara total bersama rakyat.
Setelah tercapai gencatan senjata pada tanggal 11 Agustus 1949 dan Kantor Berita "ANTARA" bekerja kembali, RIPRESS menghentikan siaran-siaran.
Ditulis di Jakarta,1993
Oleh Ex Perwira Penerangan Markas Besar Komando Djawa (MBKD)
Mayor Maladi
Kawat-kawat dan dokumen-dokumen lainnya itu diterima dan dikirim dari markas komando Gubernur Militer II di desa Balong, kecamatari Jenawi, Surakarta, di Gunung Lawu. Perlu diketahui bahwa di Balong ada 3 buah pemancar radio, yaitu dari RRI Pusat, PHB GM II dan RIPRESS.
PHB BM II mengirim dan menerima kawat/radiogram ke dan dari PDRI di Sumatera, dan para Gubernur Militer serta PHB Pusat di daerah Yogyakarta. Sebelum Wonosari diduduki Belanda pada tanggal 10 Maret 1949, hubungan tersebut diselenggarakan oleh pemancar PHB Pusat di Wonosari. Tetapi sejak tanggal 10 Maret 1949 pemancar PHB GM II di Balong mengoper tugas pemancar di Wonosari.
RRI mengadakan siaran-siaran dalam dan luar negeri tiap malam dari jam 19.00 - 20.00 dalam Bahasa Indonesia, Belanda, Inggris, dan Perancis, sedang RIPRESS menyiarkan Cq press ke luar negeri dan siarannya dapat diterima di Amerika Serikat dan Eropa.
Pada waktu Balong diserbu tentara Belanda pada tanggal 3 Agustus1949 semua pemancar radio masih dapat diselamatkan. Demikian juga sejumlah lebih dari 800 dokumen RIPRESS tidak jatuh di tangan Belanda dan sampai sekarang masih tersimpan baik-baik. Sebagian dari dokumen-dokumen tersebut dihimpun dalam bendel ini (salinan)/ foto copy dari aslinya. Dari dokumen-dokumen ini dapat diketahui, bahwa Pemerintah RI selama Clash II masih tetap menjalankan tugasnya sebagai Pemerintahan Negara yang Berdaulat, Angkatan Perang RI masih lengkap, utuh mampu melakukan perlawanan sebagai Angkatan Perang yang terorganisasi dan secara total bersama rakyat.
Setelah tercapai gencatan senjata pada tanggal 11 Agustus 1949 dan Kantor Berita "ANTARA" bekerja kembali, RIPRESS menghentikan siaran-siaran.
Ditulis di Jakarta,1993
Oleh Ex Perwira Penerangan Markas Besar Komando Djawa (MBKD)
Mayor Maladi
Langganan:
Postingan (Atom)