Selasa, 27 Mei 2008

Alternative Fuels as a Solution: History of Alternative Fuel Development

Alternative Fuels as a solution : History of Alternative Fuel Development
by Zach Carson
The history of biofuels has less to do with technology advancements and more to do with political and economical greed. In order to understand the foundation for biofuel technology though, it is necessary to know the history of the diesel engine. In 1893, a German Inventor named Rudolph Diesel published a paper entitled "The theory and Construction of a Rational Heat Engine". In this paper, he described a revolutionary new engine where air would be compressed by a piston to increase pressure and therefore raise temperatures. (Planet Fuels, 2001) Because of the high temperatures, it was found that the engine could run off a variety of vegetable oils such as hemp and peanut oil. In 1911, at the Worlds Fair in Paris, Rudolph ran his engine on peanut oil, and later described that "the diesel engine can be fed with vegetable oils and will help considerably in the development of the agriculture of the countries which use it." Rudolph wanted an alternative to expensive and inefficient steam engine, and his new diesel engine was the answer.
Two years after the Worlds Fair, Diesel was found dead. It was rumored that the German government assassinated him in order to keep his new technology out of the UK submarine fleet. Shortly after this, the Germans introduced diesel engine technology in their U-boats, which contributed to much of their success during wartime. After his death, the petroleum industry capitalized on this new engine, altering it to run on the by-product of petroleum distillation called "Diesel #2". (Boyle, 2003)
Also during this time, Henry Ford, creator the Model T and contributor to the advancement of the assembly line, became convinced that renewable resources were the key to success in the automotive field. Ford built an ethanol plant in the Midwest, and formed a partnership with Standard Oil to sell and distribute it in the states. In the early 1920's, biofuels made up 25 percent of all fuel sales. (Sahlman, 2003). But, with the rapid growth of industry and economic growth of major players in the industrial field, biofuels and renewable resource growth was threatened. There were a few major players who had a lot of political pull and contributed to the downfall of biofuels and renewable resources. William Randolph Hurst produced nearly all the paper in the US, and was threatened by the many uses of the hemp plant. Andrew Mellon, secretary of the Treasurer and financial backer of the DuPont Company, patented a chemical necessary to produce wood pulp in paper. The Rockefellers were developing large empires from the use of petroleum, and biofuels threatened all of their niche their markets. These key players all had vested interests in seeing renewable resource use decreased, the hemp industry destroyed and biomass fuels forgotten. (PlanetFuels, 2003)
By the beginning of World War II, by undercutting biomass fuel prices, the petroleum companies monopolized on fuel causing the biomass industry shut down. The industry's agenda was to make more money, and they had no interest in the effects their greed would have on following generations.
Throughout the next couple decades, the petroleum and automotive industries grew tremendously, both in their economics and political power. Due to our increasing dependency for oil, the US began importing from other countries at low prices. In the early 1970's, the US supply of oil became limited and we had to rely on foreign imports to run our country. In 1973, OPEC, an organization in the Middle East that controls a majority of the world's oil, reduced its output, which caused prices in the US to increase dramatically. With the rising prices of gas, consumers began looking for other methods to support their obsession with travel. So, in 1978, diesel engines began re-gaining popularity and biofuels reentered the consciousness of the country. (NBB, 2005)
Now, almost thirty years later, ideas for alternative fuels are beginning to catch on. Over 200 major fleets in the US now run on biofuels, including US Post Office, US Military, and metropolis transit systems. (NBB, 2005) Hybrid vehicles are being produced by more car companies and sales are increasing throughout the country. Biodiesel is now being produced from many different products: from soybeans and corn in the Midwest, tallow from the slaughter industry, sugar cane in Hawaii and forest wastes in the North West. In Europe, they now have the option for biodiesel at many of their gas stations. Many private groups have caught onto the trend of alternative fuels and have made it their mission to educate people of the uses and technologies involved in using and creating alternative energies.
Despite the resistance of major political and economic powers, biofuel technology and use is beginning to regain its popularity. At this point in history, with increased pollution, global warming, environmental degradation, health problems, and rising prices at the gas pump, the popularity and implementation of biofuels and renewable technology is extremely important for the continuation of our society.

Sayang seribu sayang, bikin Bahan Bakar dari air rupanya belum masuk dalam sejarah alternative fuels.

Jumat, 23 Mei 2008

Seabad Budi Utomo - Tepatkah 20 Mei Jadi Harkitnas ?


Laporan Aboeprijadi Santoso (wartawan Radio Nederland) dari Jakarta 21-05-2008
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyambut ulang tahun seabad Hari Kebangkitan Nasional Harkitnas tanggal 20 Mei kemarin, dengan seruan "Indonesia Bisa!". Kata-kata ini diserukannya sampai tiga kali untuk mengajak seluruh bangsa bersemangat optimistis. Celakanya, menjelang kenaikan harga BBM ini, khalayak umum malah menyindir Harkitnas sebagai hari keterpurukan nasional di bawah SBY-JK ("Susah Bbm, Ya Jalan Kaki saja!"). Koresponden Aboeprijadi Santoso pada perayaan harkitnas di museum sekolah kedokteran STOVIA di Kwitang, Jakarta mewawancarai sejarawan Rushdy Hussein.Sejarawan Rushdy Hussein menunjuk, hari lahir Boedi Oetomo 20 Mei 1908 pertama kali dirayakan pada tahun 1948, ketika Republik yang baru ini, terancam terpuruk akibat perpecahan. Kini, harkitnas jadi kontroversi. Presiden Soekarno pada tahun 1948 sudah mengimbau agar tanggal tersebut kelak ditinjau kembali. Jadi, 20 Mei belum tentu tepat sebagai lambang kebangkitan nasional.
Rushdy Hussein [RH]: Ya, hati saya juga melankolik dalam rangka peringatan 100 tahun ini. Sesungguhnya ada yang perlu kita garisbawahi. Kita itu melaksanakan peringatan baru 60 kali.
Aboeprijadi Santoso [AS]: Artinya yang pertama kali tahun 1948.
RH: Tahun 1948. Jadi, ketika itu Hatta baru saja diangkat sebagai perdana menteri, akhir bulan Januari. Amir Sjariffudin sudah selesai. Ketika itu golongan oposisi yang berseberangan dengan pemerintah mengadakan apa yang disebut FDR, Front Demokrasi Rakyat, yang menyatakan pemerintah salah jalan. Perjanjian Renville itu satu kesalahan besar yang merugikan republik.
AS: Perjanjian Renville kan ditandatangani oleh Amir Sjariffudin, pemimpin FDR?
RH: Betul. Amir Sjariffudin menyesal menandatangani hal tersebut. Karena itu memperburuk keadaan. Membuat sebetulnya keadaan republik ini sudah jatuh ketiban tanggal pula. Jadi pada saat itu ada eksponen para elite Indoneisa awal, adalah Ki Hadjar Dewantoro, pendiri Indische Partij dan satu lagi adalah dokter Radjiman. Keduanya itu menghadapi menteri PDK Mr. Ali Sastroamidjojo, membicarakan keterpurukan republik pada tahun 1948. Dan rupa-rupanya hal itu dibawa kepada Bung Karno dan Perdana Menteri Hatta. Lalu mereka mencari acuan supaya bangsa ini bisa termotivasi, mau menyatukan pikiran. Karena republik pada tahun 1948 di pinggir jurang. Seperti telor di ujung tanduk. Dan memang dalam proses kita akan ditiadakan oleh Belanda yang sudah bekerjasama dengan negara-negara bagian, tentunya ya. Kemudian dicarilah dan disepakati bahwa peristiwa lahirnya Boedi Oetomo tanggal 20 Mei 1908 diangkat sebagai hari kebangunan nasional. Dan proses selanjutnya adalah membentuk panitia, ketuanya adalah Ki Hadjar sendiri dan anggotanya semua partai politik. Dengan harapan partai politik yang lagi bertengkar ini di dalam wadah itu bisa memiliki kesatuan pendapat melawan Belanda. Misalnya wakil Ki Hadjar adalah Tjoegito, PKI, kemudian dari Masyumi juga, dari PNI, alhasil acara itu diselenggarakan tingkat nasional dan internasional. Di Surakarta itu ada satu monumen, namanya Patung Lilin, Persatuan Partai Politik Indonesia. Kumpulan partai-partai politik. Tugu Lilin itu pada tahun 1933 dilarang oleh Belanda. Nah, tahun 1948 ini menarik, ketika kita dalam situasi yang mencekam, di Solo itu banyak pasukan Hijrah, Siliwangi dan sedikit banyak terjadi konflik juga dengan pasukan yang ada di sana. Itu bisa mengadakan satu pawai bersama. Mengadakan acara-acara pertandingan- pertandingan, ziarah ke makam-makan. Alhasil 20 Mei tahun 1948 itu ada citra barulah, pemikiran-pemikiran baru.
Nah, yang perlu dipertanyakan adalah kenapa Boedi Oetomo. Yang menarik adalah ketika resepsi malam hari, Bung Karno berpidato yang namanya satu machtspolitiek, bagaimana kita menghidupkan semangat politik golongan rakyat untuk melawan Belanda.
AS: Machtspolitiek, politik kekuasaan?
RH: Politik kekuasaan dan tentu bagaimana persatuan. Persatuan kesatuan ini menjadi begitu penting pada saat itu ya. Karena kita tidak memiliki apa-apa kecuali persatuan. Tapi dia menggarisbawahi, andaikata bisa diselenggarakan peringatan kebangkitan nasional ini pada tahun-tahun mendatang, cobalah dievaluasi setiap 10 tahun. Maksudnya tentu, apakah benar mengambil angka 20 Mei itu, artinya lahirnya Boedi Oetomo itu tepat. Itu yang dia mau bicarakan. Dan rupa-rupanya kita lupa, sampai hari ini tetap saja secara tradisional menggunakan istilah itu kan lahirnya Boedi Oetomo. Ini menimbulkan polemik sekarang-sekarang ini. Setelah zaman Reformasi, apa betul?
AS: Kira-kira menurut Bung Karno apa yang layak merupakan lambang kebangkitan nasional?
RH: Itu dia mengkaitkan dengan lahirnya elite Indonesia moderen. Sebelum abad ke 20 perjuangan kita bersifat kedaerahan, bersifat kekuatan fisik tanpa memperhitungkan kekuatan otak. Jadi hanya otot yang dipertaruhkan.
AS: Cara tentaralah, ya?
RH: Tentara. Dan orang lupa, perjuangan fisik dengan menggunakan senjata moderen, itu baru sebatas otot, belum otak. Tapi 1908 senang atau tidak senang itu sudah menggambarkan bahwa otak Gerakan etis itu antara lain dengan warna-warni ereschuld itu memunculkan satu peristiwa besar, yaitu pendidikan bagi semua orang di Hindia. Tanpa pilih bulu. Dan pendidikan itulah sebetulnya yang menyadarkan orang
Keterangan gambar : peringatan Kebangkitan Nasional pertama tanggal 20 Mei 1948

Minggu, 04 Mei 2008

Lima Periode Kesederhaan Fatmawati

Pada bidang putih, seukuran meja pingpong yang berdiri tegak, foto reproduksi keluarga presiden pertama RI, Soekarno, terpajang. Yang menarik perhatian, di sebelah foto besar itu terdapat kata-kata dengan huruf warna merah berbunyi: O, Fatma, jang menjinarkan tjahja. Terangilah selaloe djalan djiwakoe, soepaja sampai dibahagia raja. Dalam swarganya tjinta-kasihmoe....Itulah penggalan kalimat rayuan Bung Karno kepada Fatmawati yang tertulis dalam sebuah surat cinta pada 11 September 1941. Fragmen ini menjadi bagian menarik “Pagelaran Foto Film Dokumenter dan Benda Kenangan Fatmawati Soekarno”, yang digelar di Jogja Gallery, Jalan Pekapalan, Alun-alun Utara Yogyakarta, 14-21 April 2008. Sebanyak 124 koleksi foto terpajang rapi di ruang pamer, mulai lantai pertama hingga lantai kedua.Selain foto, diputar pula dua film dokumenter berjudul Bu Fat dalam Kenangan dan Tjinta Fatma, yang merupakan karya dokudrama. Tjinta Fatma mengisahkan masa-masa muda Fatmawati di Bengkulu, kisah percintaan dan pernikahannya dengan Bung Karno, hingga perannya dalam proklamasi kemerdekaan. Pameran ini merupakan rangkaian kegiatan mengenang 85 tahun Fatmawati Soekarno, yang digagas Yayasan Bung Karno sekaligus memperingati Hari Kartini yang jatuh pada bulan April.Kegiatan pertama dilaksanakan pada Februari dan Maret lalu di Jakarta, kemudian di Bengkulu, tanah kelahiran Fatmawati, dan mulai Maret lampau di Yogyakarta melalui kegiatan sosial. Melalui pameran ini, figur fatmawati muncul kembali. Sosok Fatmawati terlihat pada berbagai masa, peristiwa, dan lokasi yang beragam.Benang merah dari seluruh foto yang tampil sepertinya berupaya menunjukkan potret keseharian Fatmawati yang sederhana dan rileks, jauh dari ingar-bingar kemewahan layaknya first lady negara lain. Fatmawati, oleh keluarga, kerabat, dan kawan dekatnya, dikenal luwes bergaul, peramah, dan riang. “Banyak hal yang bisa saya pelajari dari Ibu. Buat saya, dia guru saya,” kata Guruh Soekarnoputra, Ketua Yayasan Bung Karno, ketika membuka pameran.Seluruh foto dalam pameran ini dikumpulkan dan diseleksi Yayasan Bung Karno dan Yayasan Fatmawati. Sumbernya dari koleksi keluarga, yayasan, media cetak, dan pribadi. Foto-foto itu dipajang menurut periode hidup Fatmawati, yakni periode Bengkulu, periode pendudukan Jepang, periode Yogyakarta, periode Istana Merdeka, dan periode Sriwijaya. Periode Bengkulu menampilkan masa muda Fatmawati, yang pada usia empat tahun pernah diramalkan akan mendapat jodoh orang yang kedudukannya tertinggi di negeri ini.Periode pendudukan Jepang mengisahkan Fatmawati, yang setelah menikah dengan Bung Karno, hijrah ke Jakarta. Periode ini termasuk masa-masa lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945, Fatmawati menjahit bendera pusaka Merah-Putih pada 1944, hingga proklamasi 17 Agustus 1945. Fatmawati terekam dalam empat bingkai foto hasil bidikan fotografer Frans Mendur selama detik-detik proklamasi.Pada periode Yogyakarta, ketika muncul gejolak revolusi kemerdekaan, berbagai kericuhan, masalah kenegaraan, dan pemberontakan di dalam republik, sehingga ibu kota RI dipindahkan ke Yogyakarta, Fatmawati berhasil membangun tradisi rumah tangga kepresidenan. Fokus paling besar pameran sepertinya berada pada periode ini. Pada periode ini, terdapat foto-foto Fatmawati ketika tinggal di Istana Gedung Agung.Satu di antaranya memperlihatkan Fatmawati ketika mencuci pakaian keluarga di Kali Code, Yogyakarta. Ia juga sering membersihkan dan memangkas rumput di halaman istana. Menurut Guruh, pada masa-masa inilah, banyak kenangan manis yang terekam. “Jakarta memang kota proklamasi, tapi Yogyakarta adalah kota untuk mempertahankan proklamasi,” katanya.Setelah pusat pemerintahan kembali ke Jakarta, dalam pameran ini digolongkan dalam periode Istana Merdeka, foto-foto yang tampil menunjukkan kegiatan Fatmawati mendampingi suaminya dalam kegiatan kenegaraan. Ketika itulah Fatmawati mendapat pengalaman melakukan perjalanan kenegaraan ke luar negeri. Perjalanan ke India, Pakistan, dan Burma menjadi rangkaian kunjungannya yang perdana.Periode Sriwijaya menampilkan potret Fatmawati sehari-hari di rumahnya di Jalan Sriwijaya. Jauh dari ikatan protokoler, dari tempat tinggalnya Fatmawati banyak menggelar kegiatan sosial. Ia juga tak pernah melupakan untuk mengasuh dan membesarkan lima putra-putrinya, yang pada saat itu mulai tumbuh dewasa. Keseharian yang penuh keakraban dengan keluarga hampir dapat dijumpai di sebagian besar koleksi foto.Melalui pameran ini, Yayasan Bung Karno ingin lebih mengenalkan sosok Fatmawati, yang tak berbeda dari kaum wanita biasa lainnya. Sebagai penghormatan, Fatmawati telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Namanya pun dipakai sebagai nama Rumah Sakit Fatmawati di Jakarta Selatan dan Bandara Fatmawati Soekarno di kota kelahirannya.
Foto : Dari undangan pagelaran diatas.
Oleh : Sigit Indra (Yogyakarta)
Seni, Gatra Nomor 24 Beredar Kamis, 24 April 2008